97,6% Anak Muda Akses Berita Lewat Media Sosial: Tren Baru dan Ancaman Hoaks di Era Digital

Tren Baru dan Ancaman Hoaks di Era Digital (pixabay)

Jakarta, NyaringIndonesia.com – Perkembangan teknologi digital yang pesat telah mengubah cara anak muda Indonesia mendapatkan informasi. Berdasarkan survei terbaru dari GoodStats, sebesar 97,6% anak muda kini mengakses berita melalui media sosial.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Angka ini menunjukkan pergeseran besar dari media konvensional seperti televisi, radio, dan surat kabar ke platform digital yang lebih cepat, interaktif, dan mudah diakses.

Platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan X (dulu Twitter) menjadi favorit di kalangan generasi muda karena menawarkan berbagai konten berita dalam format yang ringkas, visual, dan mudah dicerna.

Namun, kemudahan ini juga menghadirkan tantangan besar dalam hal akurasi dan validitas informasi.

“Media sosial memberikan akses cepat, tapi sangat rentan terhadap penyebaran hoaks dan disinformasi,” ujar Dr. Riri Satria, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia.

“Tanpa kemampuan literasi digital yang memadai, generasi muda bisa menjadi korban sekaligus penyebar informasi palsu,” tambahnya.

Tren ini menurut Dr. Riri menuntut peningkatan literasi digital, baik di lingkungan pendidikan formal maupun non-formal. Literasi digital tidak hanya mencakup kemampuan menggunakan perangkat dan aplikasi, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi sumber, dan memahami konteks informasi.

Ia menekankan bahwa sekolah dan institusi pendidikan perlu mulai memasukkan kurikulum literasi media sejak dini agar siswa tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga mampu menjadi produsen konten yang bertanggung jawab.

“Sangat penting bagi anak muda untuk tahu bagaimana cara membedakan antara informasi yang valid dan hoaks, terutama menjelang tahun-tahun politik atau ketika ada isu sensitif,” jelasnya.

Selain peran individu, pakar juga mendorong perusahaan teknologi untuk lebih aktif memoderasi konten dan memverifikasi berita yang tersebar di platform mereka. Beberapa platform seperti TikTok dan Instagram telah mulai menggandeng pengecek fakta (fact-checkers), namun efektivitasnya masih dipertanyakan.

“Jika media sosial menjadi sumber utama berita, maka tanggung jawab platform dalam menjaga kualitas informasi harus lebih besar,” tutur Anindya Putri, peneliti literasi digital dari ICT Watch.

Sementara itu, media arus utama menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan kepercayaan publik, terutama di kalangan muda. Banyak dari mereka merasa media konvensional terlalu lambat dan kurang relevan dibandingkan dengan dinamika media sosial.

Meski begitu, pakar menilai sinergi antara media konvensional dan media sosial bisa menjadi solusi. Media arus utama dapat menggunakan media sosial untuk mendistribusikan konten yang lebih informatif dan mendalam, namun tetap dikemas dengan format yang menarik untuk kalangan muda.

Pergeseran ke media sosial sebagai sumber utama informasi di kalangan anak muda adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan di era digital. Namun, fenomena ini juga menuntut kesadaran dan tanggung jawab bersama: dari individu, institusi pendidikan, media, hingga platform digital.

Tanpa penguatan literasi digital, kecepatan informasi bisa berubah menjadi ancaman bagi kualitas demokrasi dan kehidupan sosial.

 

 

==============

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama