Ini Alasan Rumah Heritage Kolonial Terasa Lebih Dingin Meski Tanpa AC

Rumah Heritage peninggalan Kolonial Belanda yang masih kokoh sampai saat ini terjaga dengan bentuk sejarahnya
Rumah Heritage peninggalan Kolonial Belanda yang masih kokoh sampai saat ini terjaga dengan bentuk sejarahnya

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Pernahkah Anda merasa sejuk saat memasuki rumah atau bangunan peninggalan era kolonial Belanda? Ternyata, kesan dingin dan nyaman yang dirasakan di dalam bangunan tersebut bukanlah hasil dari faktor mistis, melainkan karena desain arsitektural yang cermat dan adaptif terhadap iklim tropis.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Beberapa bangunan bersejarah, seperti Lawang Sewu di Semarang, Gedung Bank Indonesia di Yogyakarta, Gereja Katedral di Jakarta dan beberapa Rumah Heritage peninggalan Belanda di Kota Cimahi, menjadi contoh bagaimana bangunan era kolonial mampu memberikan rasa sejuk meski tanpa bantuan pendingin udara (AC).

Menurut Ashar Saputra, PhD, seorang dosen Teknik Sipil dan Lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM), terdapat sejumlah faktor yang membuat bangunan peninggalan Belanda terasa lebih dingin.

Dinding Tebal dan Atap Tinggi

Salah satu kunci utama di balik kesejukan bangunan era kolonial adalah penggunaan dinding bata tebal yang mampu meredam panas dari luar.

Selain itu, atap bangunan tersebut memiliki sudut kemiringan lebih dari 50 derajat, yang memungkinkan udara panas terserap di ruang antara atap dan plafon. Ditambah lagi, sirkulasi udara di atap yang baik membantu menjaga suhu ruangan tetap sejuk.

Karakteristik Arsitektur Rumah Kolonial

Melansir dari Kompas.com, rumah-rumah kolonial memiliki beberapa ciri khas yang dirancang untuk menyesuaikan dengan iklim tropis Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:

1. Warna Dinding Krem atau Putih

Warna dinding krem atau putih digunakan untuk mengurangi penyerapan panas dari matahari. Warna-warna lembut ini tidak mencolok dan membantu menciptakan suasana teduh.

2. Jendela Berlapis

Jendela di bangunan kolonial sering kali berdaun ganda dan berlapis dua, dengan jalusi di bagian luar dan kaca patri di bagian dalam. Jalusi membantu mengalirkan udara segar ke dalam rumah, sementara kaca patri berfungsi sebagai tirai alami.

3. Pintu dengan Ventilasi Udara

Pintu pada rumah kolonial biasanya dilengkapi dengan lubang angin atau ventilasi di bagian atas, yang memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik.

4. Atap Berbentuk Perisai

Atap rumah kolonial umumnya berbentuk perisai atau limasan, yang miring dan memberikan ruang yang cukup antara atap dan plafon. Ruang ini membantu meredam panas, membuat bagian dalam rumah tetap sejuk.

5. Dinding Tebal

Dinding tebal pada bangunan kolonial, yang bisa mencapai ketebalan 15 hingga 30 cm, membuat panas matahari butuh waktu lama untuk menembus ke dalam ruangan.

6. Lantai Ubin PC dan Teraso

Penggunaan ubin teraso dan PC atau tegel di lantai rumah kolonial membantu menyerap panas, sehingga suhu di dalam rumah tetap sejuk.

7. Langit-langit Tinggi

Tinggi plafon pada rumah kolonial memungkinkan udara bersirkulasi lebih baik, menjaga suhu ruangan tetap stabil dan sejuk sepanjang hari.

8. Teras Luas

Teras pada rumah kolonial berfungsi sebagai ruang peralihan antara bagian luar dan dalam rumah, yang juga berperan sebagai area sirkulasi udara dan cahaya alami.

Penyesuaian dengan Iklim Tropis

Dengan segala ciri khas tersebut, rumah kolonial Belanda sebenarnya dirancang untuk beradaptasi dengan iklim tropis Indonesia.

Bangunan-bangunan ini mengoptimalkan sirkulasi udara, penggunaan material yang tahan panas, dan desain arsitektur yang memperhatikan kenyamanan penghuni.

Kombinasi ini menjadikan rumah bergaya kolonial tetap terasa sejuk meski tanpa bantuan teknologi modern seperti AC.

Jadi, bukan hal mistis yang membuat bangunan kolonial terasa dingin, melainkan kecerdikan arsitekturnya dalam menghadapi iklim tropis.

Follow berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama