Pentingkah Menyoal Target 100 Hari Kerja bagi Kepala Daerah

NTB
Penulis Yusuf Elly

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Tidak banyak kepala daerah di Indonesia yang berani mengambil risiko dengan menetapkan indikator keberhasilan kinerja dalam program 100 hari kerja. Gubernur NTB, misalnya, sejak awal menolak kinerjanya diukur hanya dalam periode 100 hari. Namun, di tingkat nasional, Presiden SBY dan Presiden Jokowi menjadi contoh pemimpin yang berani menetapkan target capaian dalam 100 hari pertama masa jabatan mereka.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Menurut saya, 100 hari pertama merupakan periode strategis yang sangat menentukan persepsi publik terhadap pemimpin baru. Survei dari Indikator Politik Indonesia, misalnya, menunjukkan bahwa 97,7% masyarakat Jawa Barat puas terhadap kinerja gubernur mereka dalam 100 hari pertama.

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe, juga mencatatkan prestasi dalam waktu singkat, seperti memperluas akses layanan kesehatan, membangun rumah sakit baru, mencabut pungutan uang komite di SMK, SMA, dan SLB, serta mengalokasikan anggaran Rp34 miliar untuk bantuan operasional sekolah daerah semuanya dalam 100 hari kerja.

Secara umum, program 100 hari (100-day program) merujuk pada serangkaian kebijakan atau langkah-langkah strategis yang dijanjikan seorang pemimpin di awal masa jabatannya. Konsep ini sebenarnya bukan bagian dari budaya politik Indonesia. Secara historis, ia berakar dari politik Amerika Serikat, khususnya pada masa Presiden Franklin D. Roosevelt.

Dalam 100 hari pertamanya, Roosevelt berhasil mendorong 15 undang-undang penting melalui Kongres sebagai respons terhadap krisis besar atau Great Depression. Sejak saat itu, 100 hari kerja menjadi semacam standar global untuk menilai efektivitas awal pemerintahan.

Lalu, bagaimana dengan konteks Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB)?

Bagi saya, 100 hari kerja kepala daerah adalah representasi dari kecakapan seorang pemimpin dalam mengorganisasi otoritasnya serta menyusun fondasi kebijakan publik. Tanpa adanya target jangka pendek yang jelas, sulit bagi publik untuk menilai arah dan fokus pemerintahan. Karena itu, 100 hari pertama bisa menjadi tonggak simbolik yang penting, bukan hanya bagi media dan oposisi untuk menilai, tetapi juga bagi kepala daerah untuk membuktikan kesigapan dan visi awalnya.

Bupati SBB, Pak Asri, seharusnya memaknai 100 hari kerjanya sebagai cetak biru (blueprint) awal arsitektur kepemimpinannya. Periode ini idealnya menjadi waktu untuk menunjukkan arah kebijakan makro dan prioritas strategis.

Pertanyaannya, sudahkah 100 hari kerja Pak Asri memperlihatkan fokus kebijakan dan capaian nyata? Apakah sudah terlihat quick wins dalam bidang-bidang seperti reformasi birokrasi, pertanian, kelautan, pariwisata, pelayanan publik, ekonomi lokal, atau bahkan penegakan hukum?

Memang benar, 100 hari bukanlah satu-satunya ukuran kinerja, dan tentu saja waktu tersebut tidak cukup untuk menyelesaikan seluruh persoalan struktural yang kompleks. Namun, periode ini tetap penting secara strategis dan simbolik dalam membangun kepercayaan publik. Di sinilah masyarakat mulai menyusun ekspektasi, dan di sinilah pula pemimpin baru menunjukkan komitmen dan arah kebijakannya.

Sebagai masyarakat SBB, kita tentu berharap agar 100 hari kerja pertama tidak hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar menjadi titik awal perubahan dan kemajuan.

 

Penulis : Yusuf Elly

Berita Utama