Tiga BUMN Terus Rugi

Tiga wajah BUMN yang kerap merugi (foto, Kompasiana.com)

Jakarta, NyaringIndonesia.com – Setiap hari, rakyat Indonesia membayar: Bayar tiket pesawat Garuda. Bayar tagihan listrik PLN. Bayar bensin Pertamina. Tidak ada yang gratis, tidak ada yang bisa menghindar.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Namun, meski menjadi perusahaan milik negara dengan jutaan pelanggan, Garuda, PLN, dan Pertamina justru kerap dilanda kerugian. Lalu, muncul pertanyaan yang menggigit: Kemana larinya uang rakyat yang telah membayar itu?

Garuda: Sayap Negara yang Patah

Garuda Indonesia, maskapai nasional yang dulu berdiri kokoh sebagai simbol kebanggaan, kini terbang dengan sayap yang patah. Perusahaan ini dilanda utang menumpuk dan laporan keuangan yang memprihatinkan, sementara kepercayaan publik terus merosot.

Masalah Garuda bukan soal kualitas pelayanan atau kondisi pesawatnya, melainkan tentang bagaimana perusahaan ini dikelola. Garuda telah lama menjadi ladang permainan kontrak, dari sewa pesawat yang mahal hingga rute penerbangan yang dipilih bukan karena profit, tetapi untuk memenuhi agenda politik tertentu.

Suap dan gratifikasi yang melibatkan petinggi perusahaan menambah deretan masalah yang menghancurkan reputasi. Setiap kali rugi, masyarakat disuruh memahami bahwa itu adalah “konsekuensi bisnis penerbangan global”. Padahal, masalah sebenarnya bukanlah global, tetapi lokal. Garuda bukan hanya kalah bersaing, melainkan tenggelam dalam kubangan tata kelola yang bobrok.

Yang lebih ironis, meski merugi, bonus dan fasilitas manajemen terus berjalan. Direksi berganti, tetapi pola tetap sama: perusahaan rugi, pejabat kenyang.

PLN: Terang di Rumah, Gelap di Manajemen

Kita semua sebagai rakyat menjadi pelanggan wajib PLN: listrik adalah kebutuhan dasar untuk rumah tangga, industri, dan kehidupan sehari-hari. Namun, meski perusahaan ini menjual listrik murah, laporan keuangan PLN tetap suram.

PLN hidup dalam paradoks: Menjual listrik dengan harga murah untuk rakyat, sementara membeli bahan bakar mahal dari Pertamina. Pemerintah menjanjikan kompensasi, tetapi proses pencairannya seringkali terhambat dan tidak transparan.

Masalah utama PLN bukan hanya soal harga atau subsidi, tetapi lebih kepada inefisiensi internal dan pemborosan. Proyek-proyek pembangkit yang mangkrak, transmisi yang tidak efisien, dan proyek-proyek siluman dengan nilai fantastis namun tanpa manfaat jelas, menjadi masalah struktural yang terus berlarut-larut.

Lebih parahnya, di tengah kerugian, bonus manajemen tetap saja dibayarkan. Proyek sering disusun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi untuk “menyesuaikan” anggaran yang sudah ditentukan dari atas. Inilah yang menjadikan PLN tidak hanya gelap dalam operasionalnya, tetapi juga gelap dalam manajemennya.

Pertamina: Energi yang Menguap

Sebagai salah satu BUMN paling dekat dengan kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia, Pertamina seharusnya menjadi tulang punggung energi nasional. Dari bensin di kendaraan, gas di dapur, hingga solar untuk kapal nelayan, rakyat bergantung pada Pertamina. Namun, meskipun berada di pusat kebutuhan energi, laporan keuangan Pertamina kerap menunjukkan kerugian.

Masalah terbesar Pertamina adalah harga minyak dunia yang naik, sementara harga jual BBM di dalam negeri tetap dikendalikan oleh pemerintah. Subsidi dijanjikan, tetapi sering kali tidak menutup kerugian yang terus membengkak.

Biaya operasional yang tinggi, proyek kilang yang molor bertahun-tahun, serta pengadaan alat dan jasa yang rawan permainan rente, semakin memperburuk kondisi. Sementara itu, di tengah kerugian yang terus berlanjut, bonus direksi tetap cair.

Tiga Nama Besar, Satu Pola yang Sama

Garuda, PLN, dan Pertamina, ketiganya memiliki wajah yang serupa: meskipun menjadi perusahaan vital bagi kehidupan rakyat, ketiganya sering terbakar oleh korupsi, inefisiensi, dan privilese pejabat. Rakyat yang menjadi pelanggan setia, seakan tidak pernah diberi hak untuk tahu ke mana uang mereka digunakan.

BUMN seolah dikelola sebagai perusahaan milik penguasa, bukan milik bangsa. Ketika perusahaan untung, pejabatnya berpesta; ketika rugi, rakyat yang disuruh maklum. Inilah wajah ekonomi setengah hati: Dikelola dengan dalih “milik negara”, tetapi dijalankan tanpa disiplin korporasi yang sesungguhnya. Dibungkus dengan jargon nasionalisme, tetapi isinya adalah transaksi kekuasaan dan bonus manajemen.

Kita Membayar, Mereka Bermain

Rakyat Indonesia membayar tiket pesawat, tagihan listrik, dan harga bensin dengan disiplin. Namun, uang yang mereka bayar justru terperosok dalam sistem yang bocor, hanya berhenti di meja-meja para pejabat yang sibuk menghitung tunjangan, bukan kinerja.

Inilah wajah bisnis negara: kerugian disosialisasikan, keuntungan diprivatisasi. Ketika Garuda terbang rugi, PLN tekor, atau Pertamina defisit, rakyat yang menanggung beban melalui pajak, subsidi, atau inflasi. Namun, ketika ada bonus, dividen, dan fasilitas, hanya segelintir orang di puncak piramida yang menikmati.

BUMN seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi negara, tapi sering kali menjadi punggung yang ditunggangi banyak kepentingan.

Saatnya Rakyat Tahu dan Menagih Akal Sehat

Indonesia membutuhkan BUMN yang milik rakyat, bukan sekadar “milik negara” di atas kertas. BUMN yang dikelola dengan transparansi, profesionalisme, dan akal sehat.

Garuda harus terbang dengan kinerja, bukan karena subsidi.
PLN harus menyala dengan efisiensi, bukan karena janji kompensasi.
Pertamina harus untung dengan integritas, bukan karena permainan angka.

Selama politik lebih berkuasa dari etika bisnis, dan kursi direksi ditentukan oleh kedekatan daripada kemampuan, maka tidak peduli berapa kali kita membayar, uang kita akan terus terbang bersama Garuda, terbakar di PLN, dan menguap di Pertamina.

Titik balik hanya akan terjadi jika rakyat menuntut perubahan dalam tata kelola BUMN, dengan penegakan transparansi dan akuntabilitas yang nyata. Kita tak hanya butuh BUMN yang terbilang “milik negara” di atas kertas. Kita butuh BUMN yang mengutamakan rakyat dalam praktik, yang beroperasi dengan prinsip keberlanjutan dan kinerja nyata. (Kompasiana)

 

==================

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama