CIMAHI, NyaringIndonesia.com – Kehidupan di era perubahan iklim, urbanisasi dan tekanan ekologis kini menjadi tantangan baru bagi peradaban manusia. sejak diberlakukannya Hyogo framework for action. (HFA) untuk 2005 – 2015, dunia belajar bahwa kesiapsiagaan bukan reaksi tapi merupakan sebuah sistem.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Melalui Sendai framework for disaster risk reduction 2015-2030 bangsa-bangsa di dunia menegaskan bahwa bencana bukanlah takdir yang harus diterima melainkan resiko yang harus dikelola. Dan di tingkat nasional dengan terbitnya undang-undang nomor 24 tahun 2007 menegaskan bagaimana peran daerah dalam mengurangi resiko bencana bukan hanya dalam tahapan tanggap darurat tapi juga mitigasi dan edukasi publik.

Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia menjelaskan bajwa Kota Cimahi adalah kota dengan posisi geografis yang unik dikelilingi perbukitan padat akan penduduk dan berkembang pesat juga merupakan miniatur Indonesia dimana kita dapat katakan kota ini kecil secara wilayah tapi kompleks secara tantangan maka kesiapsiagaan bukan sekedar kesiapan alat, tapi kesiapan sistem dan jiwa bahkan bukan sekedar hanya soal dukungan anggaran semata tapi soal kesadaran bersama.
” Cita-cita kita jelas menuju Cimahi tangguh 2030 kota yang tak hanya kuat bangunannya tapi juga kokoh budayanya, kota yang tidak sekedar memiliki command center tapi juga competition center pusat empati tempat warga saling menjaga dan melindungii.” Jelas Adhitia saat Apel Gelar Pasukan, dilapangan Aple Pemkot Cimahi. KMis (06/11/25).
Adhitia, menegaskan visi ini sebetulnya berakar dari sebuah filosofi Sunda yang selalu saya sampaikan di setiap acara BPBD yaitu filosofi tritangtu, di mana di dalamnya ada manusa, alam dan spritulal yang diperspektifkan sebagai bentuk harmoni antara alam manusia dan Tuhan. Dimana ketika manusia memperlakukan bumi ini dengan penuh rasa hormat maka alam pun menurunkan kemurahan bukan bencana.
” Ketika pemerintah relawan dan masyarakat bersinergi untuk daya tahan sosial yang sesungguhnya, strategi kebencanaan Cimahi tidak boleh berhenti sekedar di titik respon kita harus membangun ekosistem kesiapsiagaan yang berbasis data dan teknologi sistem peringatan dini berbasis aioty dan ai sederhana harus mulai bisa dipantau warga melalui aplikasi lokal.” tegasnya.
Menurut Adhiyia, edukasi berkelanjutan pelatihan kebencanaan di sekolah posyandu karang taruna hingga RW siaga dan lain sebagainya harus terus dilakukan.
” Kedepan infrastruktur harus adaptif, mulai dari drainase green open space dan resillent housing yang tahan resiko bencana sebagaimana pepatah orang kuno mengatakan orang bijak menanam pohon meski tahu ia tak akan duduk di bawah naungannya.” tambahnya.
Lebih lanjut, Adhitia mengatakan, kebijakan hari ini adalah investasi keselamatan anak cucu dimasa depan. Untuk itu, sebagai pemimpin dirinya meyakini bahwa kepemimpinan bukan tentang siapa yang paling berani di garis depan tapi siapa yang paling siap mendengar suara dari belakang.
“kita ingin membangun kota yang kita cintai ini tidak hanya siap menghadapi bencana alam tapi juga bencana sosial .
Secara tegas, Adhitia meyanpaikan, apel ini bukan sekedar simbol siaga tapi deklarasi moral bahwa Cimahi siap menjadi laboratorium kebencanaan berbasis gotong royong .
“kita jadikan semangat ini sebagai gerakan kita bersama yakni Saluyu ngawangun jati mandiri yaitu membangun jati diri yang mandiri tangguh dan berkeadaban.” pungkasnya. (Bzo)