KPK Ungkap Gubernur Riau Abdul Wahid Jalankan Praktik Pemerasan Sejak Menjabat

Tersangka korupsi Gubernur Riau, Abdul Wahid

Jakarta, NyaringIndonesia.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau, Abdul Wahid, telah mengumpulkan seluruh perangkat daerah Provinsi Riau pada awal masa jabatannya untuk menjalankan praktik pemerasan di lingkungan pemerintahan. Hal ini disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Menurut Asep, pada awal menjabat, Abdul Wahid mengumpulkan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), termasuk kepala dinas dan staf, untuk menekankan pentingnya ketaatan terhadap perintah gubernur.

“Dia menekankan bahwa hanya ada satu ‘matahari’ yang harus dipatuhi, yaitu gubernur,” jelas Asep.

Asep juga menjelaskan bahwa Abdul Wahid menekankan pentingnya kepatuhan terhadap perintah kepala dinas sebagai wakil gubernur. Para pejabat di bawahannya, termasuk Kepala UPT Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), diharuskan untuk mengikuti instruksi gubernur atau menghadapi kemungkinan pemecatan atau mutasi.

Beberapa bulan setelahnya, Abdul Wahid diduga meminta bagian atau “jatah preman” dari proyek penambahan anggaran untuk Dinas PUPR Riau. Asep mengatakan, permintaan ini disampaikan melalui Kepala Dinas PUPR Riau kepada para Kepala UPT.

Kasus dugaan pemerasan ini terungkap setelah KPK melakukan operasi senyap di Provinsi Riau. Berdasarkan penjelasan KPK, Abdul Wahid melalui orang kepercayaannya, diduga meminta fee sebesar 2,5% dari anggaran penambahan proyek infrastruktur, yang melonjak dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.

Pada Mei 2025, Ferry Yunanda, Sekretaris Dinas PUPR Riau, bersama enam Kepala UPT, bertemu di salah satu kafe di Pekanbaru untuk membahas kesanggupan pemberian fee tersebut. Para pejabat tersebut kemudian sepakat untuk memberikan fee 2,5%, yang dalam perjalanannya kemudian dinaikkan menjadi 5% atau sekitar Rp 7 miliar. KPK juga mengungkapkan adanya ancaman mutasi atau pencopotan jabatan bagi yang menolak.

Pada November 2025, KPK mengungkapkan bahwa pemberian fee tersebut telah terwujud dalam tiga kali transaksi, dengan total Rp 4,05 miliar yang telah diterima oleh Abdul Wahid dan koleganya. Pemberian terakhir terjadi pada November 2025, yang kemudian terungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada 3 November 2025.

Dalam OTT tersebut, Abdul Wahid bersama beberapa pejabat terkait, termasuk Kepala UPT Dinas PUPR, Kepala Dinas PUPR, dan tenaga ahli gubernur, Dani M. Nursalam, diamankan. KPK juga menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 1,6 miliar dalam bentuk pecahan rupiah, dolar AS, dan poundsterling.

Ketiga tersangka tersebut, yaitu Abdul Wahid, M. Arief Setiawan (Kepala Dinas PUPR), dan Dani M. Nursalam, kini telah ditahan dan dijerat dengan Pasal 12e, 12f, dan 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, hingga kini, para tersangka belum memberikan komentar terkait kasus yang menjerat mereka.

 

==================

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama