Cimahi, NyaringIndonesia.com — Kasus hukum yang melibatkan jaminan fidusia kembali mencuri perhatian publik. Persoalan ini mencuat setelah muncul dugaan lemahnya kehati-hatian dalam pemberian kredit dan penegakan hukum yang dinilai belum mempertimbangkan aspek kemanusiaan.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah perkara yang menjerat Neni Nuraeni (37), warga Karawang, Jawa Barat. Neni sempat menjalani masa tahanan di Lapas Karawang akibat dugaan pelanggaran terhadap perjanjian pembiayaan kendaraan bermotor. Kasus ini menyita perhatian publik karena Neni diketahui masih menyusui bayi berusia 11 bulan saat ditahan.
Ibu Menyusui yang Terjerat Kasus Fidusia
Neni ditahan pada 22 Oktober 2025, sehari sebelum sidang perdananya di Pengadilan Negeri (PN) Karawang. Penahanan tersebut berdampak langsung pada kondisi kesehatan anaknya yang kehilangan akses terhadap ASI. Setelah mempertimbangkan faktor kemanusiaan, pengadilan akhirnya mengabulkan permohonan pengalihan status penahanan pada 30 Oktober 2025.
Neni dibebaskan dari lapas dan ditetapkan sebagai tahanan rumah setelah delapan hari mendekam di balik jeruji.
Duduk Perkara: Kredit Mobil Berujung Masalah Hukum
Berdasarkan data dari situs resmi PN Karawang, kasus ini berawal dari pengajuan pembiayaan mobil Daihatsu Xenia tahun 2014 oleh Neni dan suaminya, Denny Darmawan, melalui PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk Cabang Cikarang. Perjanjian pembiayaan senilai Rp118 juta dengan uang muka Rp31,86 juta disepakati pada 15 September 2022, dengan tenor selama 48 bulan dan angsuran bulanan sebesar Rp2,79 juta.
Dokumen kendaraan atas nama Nana Endriana, sementara Neni tercatat sebagai pemberi fidusia. Sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W11.01261530.AH.05.01 Tahun 2022 diterbitkan pada 23 September 2022, menjadikan PT Adira sebagai penerima fidusia.
Selama enam bulan pertama, pembayaran angsuran berjalan lancar. Namun, pada periode berikutnya, pembayaran macet. Neni beralasan bahwa mobil sempat digunakan tanpa izin oleh seseorang bernama Robi Ramdani, yang kemudian membuat kendaraan tersebut disita sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Setelah dikembalikan pada Februari 2023, Neni mengaku terpaksa menggadaikan mobil tersebut kepada seseorang bernama Entang tanpa sepengetahuan pihak PT Adira, dan menerima uang sebesar Rp37 juta. Tindakan itu membuat pihak perusahaan mengalami kerugian hingga Rp117 juta, sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan.
Atas perbuatannya, Neni didakwa melanggar Pasal 36 jo. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, atau Pasal 372 KUHP tentang penggelapan.
Aturan Ketat dalam Pengalihan Kredit Fidusia
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 mendefinisikan fidusia sebagai pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda berdasarkan asas kepercayaan, dengan ketentuan bahwa benda tersebut tetap berada dalam penguasaan pemilik aslinya.
Pasal 23 Ayat (2) menegaskan, pihak pemberi fidusia dilarang memindahtangankan, menggadaikan, atau menyewakan objek jaminan fidusia tanpa izin tertulis dari penerima fidusia. Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dijerat sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 36.
Dalam praktiknya, tidak semua perusahaan pembiayaan bersedia memberikan izin tertulis atas pengalihan jaminan fidusia. Sebab, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Namun, apabila seluruh kewajiban debitur terpenuhi tanpa wanprestasi, penggadaian semacam itu tidak akan menimbulkan konsekuensi hukum.
Aspek Kemanusiaan dalam Penegakan Hukum
Kasus Neni membuka kembali perbincangan tentang perlunya kebijakan penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis, terutama bagi perempuan dan ibu menyusui yang terjerat perkara pidana. Meski hukum harus ditegakkan, penerapan prinsip kemanusiaan tetap menjadi bagian penting dalam sistem peradilan di Indonesia. (Tirto.id)