CIMAHI, NyaringIndonesia.com – Ramadhan sebagai bulan suci yang mempunyai banyak keutamaan di antaranya adalah ampunan dosa sepanjang Ramadhan bagi orang yang shalat malam dan berpuasa selama Ramadhan.*
Salah satu hadits yang menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan adalah:
*مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ*
_“Barangsiapa yang ibadah malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”_ (HR Al-Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan:
*مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ*
_“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”_ (HR Al-Bukhari).
Hadits pertama menjelaskan ampunan dosa bagi orang yang menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah, dzikir dan shalat malam termasuk shalat Tarawih pada bulan Ramadhan. Ampunan dosa diperoleh jika seluruh ibadah dilakukan dengan “imanan”, yakni rasa yakin dan membenarkan, serta “ihtisaban”, yakni mengharapkan pahala dari Allah swt.
Pada hadits ini, kata “imanan” diartikan dengan meyakini kebenaran dan keutamaan menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah. Imam As-Suyuthi dalam Syarhu Muslim mengatakan, kata “imanan” dalam hadits tersebut memiliki arti meyakini kebenaran dan keutamaannya. Sedangkan Al-Munawi dalam Faidhul Qadir mengatakan, artinya adalah meyakini adanya janji pahala dari Allah swt. Sedangkan hadits kedua menjelaskan ampunan dosa bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan “imanan” dan “ihtisaban”.
Pada hadits ini As-Suyuthi mengatakan, kata “imanan” diartikan dengan meyakini kewajiban puasa Ramadhan, meyakininya sebagai salah satu rukun Islam, dan meyakini janji pahala dari Allah swt. Jadi, orang yang melakukan puasa dan shalat malam pada bulan Ramadhan harus merasa yakin dan tidak ragu bahwa puasa merupakan kewajiban Islam, shalat malam merupakan anjuran Islam, dan keduanya telah dijanjikan pahala oleh Allah swt.
Sedangkan kata “ihtisaban” pada dua hadits di atas diartikan dengan beberapa makna, di antaranya: Melakukan puasa dengan senang dan berharap mendapat pahala dari Allah swt, tidak merasa berat melakukan puasa, dan tidak merasa jenuh karena hari-hari puasa terlalu lama, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani: _“Al-Khattabi berkata: “kata “ihtisaban” artinya dengan keteguhan hati, yaitu puasa dengan makna menginginkan pahala, dengan hati yang baik, tidak merasa berat untuk puasa dan tidak merasa terlalu panjang hari-harinya”.”_ (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017] juz V, Halaman 101).
Melakukan ibadah dengan ikhlas hanya karena Allah, tidak karena riya’ dan ingin dilihat baik di hadapan orang lain. As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj mengatakan: _”Yang dikehendaki dari “ihtisaban” adalah mencari pahala dari Allah saja, tidak melihat manusia atau apapun hal lain yang bertentangan dengan keikhlasan._” (Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, Ad-Dibaj ‘ala Sahihi Muslim bin Al-Hajjaj [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2016], juz II, halaman 173).
Pemaknaan yang sama juga disampaikan dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi karya Muhammad Abdurrahman, sebagai berikut:
*وَاحْتِسَابًا أَيْ طَلَبًا لِلثَّوَابِ مِنْهُ تَعَالَى أَوْ إِخْلَاصًا أَيْ بَاعِثُهُ عَلَى الصَّوْمِ مَا ذُكِرَ لَا الْخَوْفُ مِنَ النَّاسِ وَلَا الْاِسْتِحْيَاءُ مِنْهُمْ وَلَا قَصْدُ السُّمْعَةِ وَالرِّيَاءِ عَنْهُمْ*
_“(Dan karena mengharapkan pahala), maksudnya mencari pahala dari Allah swt, atau karena ikhlas, yaitu motivasinya berpuasa adalah ikhlas karena Allah, bukan karena takut kepada manusia, atau merasa malu, juga tidak karena ingin didengar baik oleh orang lain dan tidak pamer.”_ (Muhammad Abdurrahman, Tuhfatul Ahwadzi Bisyarhi Jami’it Tirmidzi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2018], juz IV, halaman 244).
Jadi, orang yang melakukan puasa dan shalat malam di bulan Ramadhan harus melakukannya dengan senang hati dan tidak merasa berat, serta dilakukan dengan ikhlas karena Allah, tidak karena pamer, malu ataupun takut. Adapun dosa yang diampuni pada dua hadits di atas adalah dosa dari kemaksiatan kepada Allah swt (haqqullah), bukan dosa antarsesama manusia (haqqul adami), karena dosa haqqul adami tidak akan terhapus kecuali dengan meminta maaf dan meminta halal, sebagaimana disebutkan dalam kitab I’anatut Thalibin:
*وَقَوْلُهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ أَيْ مِنَ الصَّغَائِرِ أَوِ الْأَعَمِّ دُوْنَ التَّبِعَاتِ وَهِيَ حُقُوقُ الْآدَمِيِّيْنَ أَمَّا هِيَ فَلَا يُكَفِّرُهَا إِلَّا الْاِسْتِحْلَالُ مِنْ مُسْتَحِقِّهَا إِنْ كَانَ مَوْجُوْدًا أَهْلًا لِلْاِسْتِحْلَالِ مِنْهَا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلًا أَوْ لَمْ يَكُنْ مَوْجُوْدًا فَوَارِثُهُ*
_“(Dan ungkapan: “Dosa-dosanya yang terdahulu”), yakni dosa-dosa kecil atau dosa-dosa yang lebih umum, dan tidak termasuk dosa yang menjadi hak manusia. Adapun dosa-dosa itu hanya dapat ditebus dengan menghalalkannya dari orang yang berhak, jika dia ada dan bisa menghalalkannya. Jika dia tidak bisa menghalalkannya (semisal anak kecil atau orang gila) atau tidak ada, maka kepada ahli warisnya._” (Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Mesir, Daru Ihya’il Kutubil ‘Arabiyah: 1883] juz II, halaman 258
Sedangkan untuk tingkatan dosa yang mendapat ampunan dari Allah swt, menurut ulama terdapat tiga pendapat: Semua dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Ini pendapat dari Ibnu Mundzir. Hanya untuk dosa-dosa kecil. Ini pendapat An-Nawawi dan Imam Al-Haramain. Dosa kecil diampuni, sedangkan dosa besar diringankan.
*غُفِرَ لَهُ: ظَاهِرُهُ يَتَنَاوَلُ الصَّغَائِرَ وَالْكَبَائِرَ وَبِهِ جَزَمَ بْنُ الْمُنْذِرِ وَقَالَ النَّوَوَي الْمَعْرُوْفُ أَنَّهُ يَخْتَصُّ بِالصَّغَائِرِ وَبِهِ جَزَمَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَعَزَاهُ عِيَاضٌ لِأَهْلِ السُّنَّةِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَيَجُوْزُ أَنْ يُخَفِّفَ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يُصَادِفْ صَغِيْرَةً*
_“(Dia akan diampuni) yang jelas maksudnya adalah untuk dosa-dosa kecil dan besar, dan Ibnu Mundhir menegaskan makna tersebut. An-Nawawi mengatakan bahwa itu khusus untuk dosa-dosa kecil, pendapat ini ditegaskan oleh Imam Haromain. Iyadl menyatakan ini pendapat Ahlus Sunnah. Sebagian ulama berkata, bisa jadi maksudnya mengurangi dosa besar jika tidak ditemui dosa kecil._” (Abdurrahman, Tuhfatul Ahwadzi, Juz IV, Halaman 244).
Kemudian jika tidak ditemukan dosa kecil dan besar, maka puasa dan shalat malam di bulan Ramadhan dapat menaikkan derajat di surga. An-Nawawi berkata:
*قَالَ النَّوَوِي إِنَّ الْمُكَفِّرَاتِ إِنْ صَادَفَتِ السَّيِّئَاتِ تَمْحُوْهَا إِذَا كَانَتْ صَغَائِرَ وَتُخَفِّفُهَا إِذَا كَانَتْ كَبَائِرَ وَإِلَّا تَكُوْنُ مُوْجِبَةً لِرَفْعِ الدَّرَجَاتِ فِي الْجَنَّاتِ*
_“Al-Nawawi mengatakan, amalan-amalan yang dapat menghapus dosa, itu jika ditemukan amal buruk, maka dihapuskan jika dosanya kecil, dan dikurangi jika dosanya besar, jika tidak ada amal buruk, maka akan menambah derajat seseorang di surga.”_ (Abdurrahman, Tuhfatul Ahwadzi, IV/244).
Demikian penjelasan hadits ampunan dosa bagi orang yang puasa dan shalat malam di bulan Ramadhan, semoga kita dapat menjalankan ibadah di bulan Ramadhan ini dengan penuh keyakinan dan ikhlas mencari pahala dari Allah swt. Amîn yâ rabbal âlamîn. Wallaahu a’lam.