BANDUNG BARAT, NyaringIndonesia.com – Di balik hijaunya lereng Parongpong, krisis air bersih tengah menyelinap perlahan namun pasti. Tak lagi hanya soal kekeringan musiman, krisis ini kini berwujud konflik kepentingan, pengabaian komunitas lokal, serta memburuknya kualitas lingkungan akibat limbah yang tak terkendali.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Di Desa Cihanjuang Rahayu, Kabupaten Bandung Barat, suara petani pemakai air nyaris tak terdengar. Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A), yang selama ini berjibaku menjaga aliran air bersih dari sumber Ciwangun, mengaku terpinggirkan oleh pengelolaan yang dikendalikan pihak luar. Bagi Nandang, Ketua P3A setempat, pengelolaan yang dulu berbasis komunitas kini berubah menjadi komoditas.
“Air kini bukan lagi soal kebutuhan, tapi jadi barang dagangan. Padahal kami yang menjaga sumbernya, malah tidak dianggap,” ujar Nandang, dengan nada kecewa.
Sumber air yang dulunya menjadi penopang kehidupan warga kini perlahan dikuasai dan diperjualbelikan. Akibatnya, masyarakat lokal justru harus merogoh kocek dalam demi menikmati sumber daya yang dulunya mereka rawat sendiri.
Sementara itu, kondisi serupa, meski dalam bentuk berbeda, juga melanda Kota Cimahi. Meski tak memiliki mata air maupun hulu sungai sendiri, kota ini menjadi penerima beban dari limbah-limbah rumah tangga yang masuk tanpa penyaringan memadai. Hasilnya: kualitas air menurun drastis dalam tiga tahun terakhir.
Menurut Ario Wibisono dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cimahi, pemerintah telah menerapkan berbagai instrumen hukum dan teknis untuk menekan pencemaran. Namun, tantangan terbesarnya justru datang dari ketidakmampuan kota ini mengendalikan aliran limbah yang datang dari luar wilayahnya—terutama dari hulu di Bandung Barat.
“Cimahi tidak punya hulu, tapi menanggung limpahan masalahnya. Sungai-sungai yang melintasi kota ini membawa beban pencemaran dari luar,” jelas Ario.
Pemantauan kualitas air dilakukan tiga kali setahun, mencakup lima aliran sungai besar. Namun data dan pengawasan tidak cukup untuk menghentikan kerusakan yang sudah berjalan.
Kondisi ini mengundang keprihatinan pemerhati lingkungan seperti Wahyu Dharmawan dari Perbanusa Cimahi. Menurutnya, penurunan kualitas air ini bukan sekadar isu lingkungan, melainkan sinyal bahaya bagi kesehatan dan stabilitas sosial.
“Kita sedang menghadapi krisis yang bukan hanya fisik, tapi juga sosial. Ketika air tak lagi bisa diandalkan, maka kepercayaan publik pun ikut terkikis,” kata Wahyu.
Ia juga menyoroti fakta bahwa pencemaran tak bisa dibatasi oleh peta administratif. Limbah dari sektor pertanian, peternakan, hingga aktivitas domestik mencemari hulu sungai yang kemudian mengalir ke Cimahi, menciptakan rantai polusi yang sulit diputus.
“Selama hulu tidak dibenahi, hilir akan terus terdampak. Pemerintah provinsi harus turun tangan, karena ini bukan sekadar urusan kota,” tegasnya.
Dengan pencemaran yang melibatkan polutan padat, cair, hingga mikroorganisme patogen, dampaknya tidak bisa ditunda lebih lama. Kombinasi antara ketimpangan pengelolaan dan degradasi lingkungan berisiko memicu krisis multidimensi, dari kesehatan hingga potensi konflik sosial.
Di tengah gemuruh pembangunan dan modernisasi, krisis air bersih seharusnya jadi alarm keras bagi pemerintah dan masyarakat. Ketika limbah rumah tangga tak terkendali, maka ancaman sesungguhnya bukan hanya kekurangan air, tapi kehilangan masa depan.
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News