Cireundeu, Warisan Leluhur Cimahi yang Tangguh Hadapi Arus Globalisasi

Cireundeu
Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudhistira, bersama ketua DPRD Cimahi Wahyu Widyatmoko saat hadiri sukuran tutup taun 1958 Saka Sunda di Kampung Cirendeu, Cimahi Selatan

CIMAHI, NyaringIndonesia.com – Di perbatasan antara Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat, terdapat sebuah kampung adat yang masih mempertahankan tradisi leluhur di tengah derasnya arus globalisasi. Kampung tersebut adalah Kampung Cireundeu, yang dikenal sebagai pelopor ketahanan pangan di Kota Cimahi.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudhistira, menyampaikan bahwa sejak ratusan tahun lalu, warga Kampung Cireundeu telah menerapkan konsep ketahanan pangan secara mandiri.

Salah satu cirinya, masyarakat Cireundeu tidak mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, melainkan singkong.

“Semahal apa pun harga beras, sesulit apa pun mencari beras, itu tidak berpengaruh bagi masyarakat Kampung Cireundeu,” ujar Adhitia saat menghadiri perayaan Sukuran tutup taun 1958 Saka Sunda di Kampung Cireundeu, Sabtu (12/07/25).

Adhitia menegaskan bahwa Pemerintah Kota Cimahi berkomitmen menjadikan Kampung Cireundeu sebagai pusat konservasi budaya, adat, dan lingkungan. Ia menyebut Cireundeu sebagai embrio kebudayaan adat Sunda yang ada di Kota Cimahi.

“Terkait konservasi lingkungan, kami berencana membangun Hutan Bambu di kawasan bekas bencana ledakan TPA Leuwigajah. Nantinya, akan dibangun pula sebuah monumen sebagai pengingat tragedi tersebut,” tambahnya.

Ia juga menyebut bahwa tragedi ledakan sampah di Leuwigajah menjadi pemicu lahirnya Undang-Undang Persampahan dan ditetapkannya Hari Peduli Sampah Nasional.

Menanggapi rencana pemerintah pusat yang akan mengimpor singkong, Adhitia menilai hal itu tidak akan berdampak pada masyarakat Kampung Cireundeu.

“Rasa dan jenis singkong dari Cireundeu sangat berbeda. Kita bisa lihat dari hasil panen dan perayaan seren tahun, singkong mereka sangat besar dan khas,” ungkapnya.

Adhitia juga menjelaskan bahwa dalam pengembangan kawasan Cireundeu sebagai Leuweung Tritangtu (Hutan Bambu), harus mengacu pada standar yang ditetapkan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.

“Apapun bentuk pengembangannya, kawasan ini harus memiliki perlindungan hukum, salah satunya melalui peraturan wali kota (Perwal),” ujarnya.

Secara hukum, Adhitia menegaskan bahwa pengembangan Kampung Cireundeu sebagai pusat konservasi budaya dan lingkungan, termasuk pembangunan Leuweung Tritangtu, telah memiliki payung hukum yang jelas. (Bzo)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Utama