Fenomena Band Sukatani, Kritik Sosial dan Makna Simbolisme

NyaringIndonesia.com – Sudah satu minggu terakhir ini, jagat dunia maya, terutama dunia hiburan tanah air, dihebohkan dengan kemunculan band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yaitu Sukatani.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Band yang disinyalir salah satu personelnya adalah seorang guru ini menjadi perbincangan hangat, terutama karena lirik lagu-lagunya yang pedas dan berisikan kritik tajam. Tak tanggung-tanggung, salah satu sasaran kritiknya adalah institusi terhormat, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Dalam penggalan lirik lagu berjudul “Bayar, Bayar, Bayar”, band ini menyentil berbagai permasalahan yang terkait dengan kepolisian yang harus diselesaikan dengan uang. Tak ayal, pihak kepolisian pun berang, merasa disudutkan, hingga akhirnya menarik karya tersebut dari peredaran dan melayangkan himbauan agar band Sukatani meminta maaf.

Beragam respons pun muncul, baik dari warga net, tokoh nasional, akademisi, maupun masyarakat lainnya. Banyak yang menyayangkan sikap kepolisian yang, bahkan disinyalir, telah melakukan intimidasi terhadap pihak band, padahal kebebasan berekspresi di negeri ini sudah dijamin oleh undang-undang.

Pada akhirnya, karya-karya band Sukatani kembali beredar di pasaran. Bahkan, yang menggelitik adalah adanya tawaran dari kepolisian untuk menjadikan band Sukatani sebagai Duta Polisi, meskipun tawaran tersebut akhirnya ditolak oleh pihak band.

Sebagai penikmat seni, saya tidak heran dengan gubahan lagu dari band punk seperti Sukatani. Harus diakui, ciri utama dari genre musik ini adalah kritik terhadap kondisi sosial, kriminalitas, dan fenomena sosial lainnya.

Lirik lagu-lagu mereka sering kali mencerminkan realitas kehidupan yang keras. Hal ini tidak lepas dari latar belakang para pelaku musik punk yang umumnya berasal dari kalangan termarjinalkan, sehingga lirik dan karakter musiknya pun tidak jauh dari dunia marginal tersebut.

Yang menarik bagi saya dari band Sukatani adalah simbol tulisan mereka yang menggunakan huruf Arab. Hal ini patut dicermati lebih jauh, apalagi dengan fakta bahwa salah seorang personelnya berprofesi sebagai pendidik (guru) dan mengenakan jilbab. Ini menambah daya tarik untuk mengkaji lebih dalam.

Dalam hal ini, saya mencoba menganalisis fenomena tersebut menggunakan teori semiotik, khususnya teori semiotik Charles Sanders Peirce (1839-1914).

Dalam analisis semiotiknya, Peirce membagi tanda menjadi tiga kelompok berdasarkan sifat ground-nya, yaitu: qualisigns, sinsigns, dan legisigns.

Qualisigns adalah tanda yang didasarkan pada sifatnya. Sinsigns adalah tanda berdasarkan tampilannya dalam kenyataan. Sedangkan legisigns adalah tanda yang mengacu pada peraturan umum, konvensi, atau kode yang diterima oleh masyarakat.

Peirce juga memfokuskan pada tiga aspek tanda, yaitu: ikonik, indeksikal, dan simbol. Ikonik adalah tanda yang memiliki kesamaan bentuk dengan objek yang diwakilinya.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan sebab akibat atau petunjuk tertentu dari objek yang diwakili. Sementara simbol adalah tanda yang digunakan berdasarkan konvensi atau kesepakatan umum dalam masyarakat.

Prinsip dasar semiotik Peirce adalah bahwa tanda bersifat representatif, yaitu sesuatu yang mewakili hal lain (something that represents something else). Proses pemaknaan tanda mengikuti hubungan antara tiga elemen: Representamen (R), Object (O) dan Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang bisa dipersepsi secara fisik atau mental dan merujuk pada objek yang diwakilinya (O). I adalah interpretasi atau makna yang diberikan terhadap hubungan antara R dan O. Oleh karena itu, bagi Peirce, tanda tidak hanya bersifat representatif, tetapi juga interpretatif.

Kembali pada persoalan tulisan Sukatani yang menggunakan huruf Arab, jika dianalisis menggunakan semiotik, maka gambar tulisan Sukatani dalam huruf Arab berfungsi sebagai R yang merujuk pada tulisan tersebut (O).

Sementara tulisan Arab itu sendiri ditafsirkan sebagai simbol Islam, karena Islam lahir di Arab. Oleh karena itu, Islam bisa dianggap sebagai I (interpretasi) dari tulisan Arab tersebut.

Interpretasi yang bisa diambil dari tulisan Arab Sukatani adalah: (1) bahwa Islam bersahabat dengan seni dan membolehkan adanya ekspresi seni, dan (2) bahwa dunia Arab, terutama Arab Saudi, pada dasarnya tidak akan lepas dari dunia seni dan modernitas.

Untuk kasus kedua, kita bisa saksikan bagaimana negara Arab Saudi, yang dulu dikenal sangat kaku dan rigid terhadap modernitas, kini mulai longgar terhadap modernisasi.

Berbagai bentuk hiburan, yang sebelumnya dilarang, kini mulai diterima di Arab Saudi, kecuali dua kota suci Haramain (Mekah dan Madinah) yang tetap dijaga kesakralannya. Pertandingan tinju dunia yang bergengsi pun kini sering diadakan di Arab Saudi, dengan tajuk “Session Riyad”. Mengenai band Sukatani, mungkin suatu saat musik punk yang identik dengan dunia marginal ini bisa berkembang di negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi.

Fenomena band Sukatani seharusnya dibaca sebagai dua hal penting. Pertama, sebagai bentuk peringatan terhadap ketidakadilan. Kedua, hadirnya band Sukatani dengan lambang tulisan Arabnya harus dimaknai bahwa modernisasi, globalisasi, dan era disrupsi adalah hal yang tidak bisa dihindari, dan kita harus bijak dalam menyikapinya.

Perlu dicatat juga bahwa viralnya band Sukatani bertepatan dengan adanya demo “Indonesia Gelap” dan tagar #KaburAjaDulu. Banyak aksi demo yang dilakukan dengan cara anarkis, sementara seniman, termasuk band Sukatani, lebih memilih untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah melalui karya kreatif. Ini adalah cara yang sudah lama dilakukan oleh para seniman di Indonesia.

Oleh: Rudi Sirojudin Abas

Berita Utama