NyaringIndonesia.com – Penyelenggaraan pemerintahan selalu terkait erat dengan proses politik, karena politik merupakan alat negosiasi kepentingan yang pada akhirnya menghasilkan kebijakan publik.
Di Indonesia, proses politik berlangsung dalam sistem pemerintahan Presidensil yang mengamanatkan pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif berdasarkan prinsip “checks and balances”. Legislatif, sebagai lembaga politik, berperan dalam menegosiasikan berbagai kesepakatan dan kepentingan dengan eksekutif.
Pemilu adalah mekanisme demokrasi prosedural yang memungkinkan pemilihan anggota legislatif. Salah satu fenomena menarik dari Pemilu terkini adalah kejatuhan calon incumbent anggota legislatif.
Hal ini tercermin dalam hasil Pemilu yang menunjukkan bahwa sejumlah calon petahana gagal terpilih kembali.
Contoh konkret terjadinya kegagalan calon petahana terlihat dalam Pemilu Legislatif Kota Cimahi. Hampir semua calon petahana di enam Daerah Pemilihan di Kota Cimahi gagal terpilih kembali dalam Pemilu 2024.
Hal serupa juga terjadi di beberapa wilayah lain, seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Berdasarkan hasil pleno tingkat kecamatan, kejadian ini mungkin juga terjadi di sebagian besar wilayah Pemilu di kabupaten/kota lain di Indonesia.
Kegagalan calon petahana dapat dilihat sebagai peringatan bagi politisi yang akan bertarung dalam Pemilu mendatang. Ini juga mencerminkan karakter pemilih yang melakukan evaluasi terhadap para calon petahana, sehingga memilih untuk memberikan suara kepada calon baru.
Ketidakpuasan politik dan protes bisa saja dinyatakan melalui Pemilu. Kondisi ini mencerminkan protes dan sangsi sosial dari rakyat. Oleh karena itu, kualitas calon petahana yang seharusnya mampu mengoptimalkan peran dan fungsinya saat berkuasa tidak dapat dibuktikan. Sebagai respons, rakyat memilih untuk tidak memberikan suara kepada mereka.
Fenomena ini menjadi catatan kritis sebagai bentuk perlawanan rakyat. Ada kecenderungan rakyat untuk tidak memilih calon petahana dengan kinerja yang buruk. Selain itu, ada juga kepercayaan pada calon baru yang menawarkan hal yang berbeda.
Perlu diingat bahwa nasib politisi tidak selalu tergantung pada tingkat elektabilitas. Politisi petahana yang mencalonkan diri dalam Pemilu memiliki tanggung jawab politik untuk dievaluasi kinerjanya.
Kekalahan calon petahana juga memperkuat keyakinan bahwa politisi tidak lagi bergantung pada kekuasaan atau modal elektoral di masa lalu. Evaluasi terhadap calon petahana adalah bagian penting dari proses demokrasi yang semakin evaluatif.
Kedua, tantangan serius bagi politisi ke depan adalah bagaimana calon petahana dapat menggunakan kapasitasnya secara efektif. Pemilu diakui sebagai momen evaluasi di mana pemilih memiliki kebebasan untuk mengevaluasi setiap calon yang akan mereka pilih.
Dalam kondisi di mana partai politik menjadi partai catch all, kebebasan politik menjadi harga yang mahal. Evaluasi terhadap calon petahana tidak hanya merupakan transformasi pemahaman politik pemilih, tetapi juga merupakan bentuk keberanian mereka untuk mengevaluasi dan memberi sanksi bagi calon legislatif di Pemilu berikutnya.
Oleh : Asnawi Patty, S.IP