NyaringIndonesia.com – Perlu diketahuai bahwa Kidung Sundayana bukan Naskah buatan orang Sunda apalagi berbahasa Sunda. Naskah Kuno tersebut justru dibuat oleh orang Jawa dan berbahasa Jawa.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurut hasil penelitian dari para sumber Fiolog dan Para ahli sejarah, bahwa Kidung Sundayana adalah naskah Jawa pertengahan. Naskah ini ditemukan di Bali. Makasih buat kawanku Bali yang sudah simpan naskah ini.
Naskah inilah yang menyimpan tentang Tragedi di Bubat yang menewaskan Raja Sunda Prabu Linggabuana, Putri Dyah Pitaloka beserta para punggawanya. Cerita serupa juga dikonfirmasi dalam Pararaton.
Namun selain kisah Perang Bubat, naskah ini juga menyimpan cerita Invasi Majapahit ke wilayah Sunda.
Cerita tersebut tergambar saat adegan seorang Punggawa Sunda yang sedang mamaki-maki Gajah Mada karena tidak terima Sang Putri Sunda dianggap upeti.
Berikut cuplikan dalam alih aksara dan terjemahannya:
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
(Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Tidak sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang).
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
(Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang dan bala tentaramu mundur).
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
(Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup).
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
(Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati).
Berdasarkan narasi Kidung Sundayana sebagaimana cuplikan yang telah diuraikan tersebut, maka kita bisa mendapat kesimpulan :
(1) Majaphit-Sunda pernah berperang sebelum tragedi Bubat / Invasi Majapahit.
(2) Wilayah perang di pegunungan.
(3) Tentara Sunda yang memburu tentara Majapahit adalah orang Jipang.
(4) Invasi Majapahit dipimpin oleh panglima Mantri Les dan Baleteng
(5) Majapahit kalah.
Siapa orang Jipang yang dimaksud??
Orang Jipang yang dimaksudkan dalam Kidung Sundayana sepertinya merujuk pada orang-orang Sunda yang berasal dari Desa Jipang. Desa ini sekarang terletak di Kabupaten Brebes Jawa Tengah.
Desa Jipang yang masuk wilayah Kecamatan Bantarkawung, secara geografis berbatasan dengan Desa Sindangwangi, Terlaya, Ciomas dan Bantarwaru.
Yang menjadi menarik adalah wilayah Kecamatan Bantarkawung termasuk didalamnya Desa Jipang meskipun letaknya berada di wilayah Kabupaten Brebes, sebagian besar masyarakatnya masih mengamalkan dan berbahasa Sunda hingga sekarang.