Cimahi, NyaringIndonesia.com – Reformasi 1998 telah berlalu selama 26 tahun. Peristiwa bersejarah ini terjadi pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan lahirnya era reformasi. Perubahan besar ini menggeser sistem pemerintahan dari kekuasaan sentralistik dan tangan besi menuju demokrasi yang lebih terbuka.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Reformasi membawa banyak perubahan, termasuk kelahiran berbagai partai politik (parpol) dan pemilihan langsung, dari presiden hingga gubernur, bupati, dan walikota. Rakyat berharap bahwa dengan banyaknya parpol dan pemilihan langsung, negeri ini akan melahirkan pemimpin yang amanah dan benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat, baik di pusat maupun daerah. Inilah sebagian dari cita-cita reformasi.
Namun, setelah 26 tahun berjalan, banyak yang menilai reformasi belum sepenuhnya berhasil memenuhi harapan ini. Pemimpin yang benar-benar menyejahterakan rakyat dan ‘ingat pulang’ ke rumah Allah masih jarang ditemui. Berbagai faktor seperti korupsi, politik dinasti, dan kepentingan kelompok sering disebut sebagai penghambat. Meskipun demikian, ada sebagian pemimpin lokal yang menunjukkan dedikasi nyata, meski belum dominan di tingkat nasional.
Jika dalam 26 tahun reformasi ini kita berhasil mencetak 70 persen pemimpin daerah hingga pusat yang bekerja dengan baik, benar, dan nyata untuk kesejahteraan bangsa, bukan sekadar pencitraan atau jongos oligarki, barulah kita bisa menyimpulkan bahwa reformasi telah berhasil.
Salah satu sosok pemimpin yang dianggap memenuhi kriteria ini adalah Gubernur Jawa Barat, Kang Dedy Mulyadi (KDM). Sejak terpilih, KDM langsung terjun ke masyarakat, jarang terlihat di kantor, dan lebih sering bekerja langsung di lapangan. Ia bahkan kerap menggunakan dana pribadi untuk membangun infrastruktur seperti jembatan dan rumah warga yang membutuhkan, menjadikannya contoh pemimpin yang ‘ingat pulang’.
Dedi Mulyadi adalah politikus Partai Gerindra yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat untuk periode 2025-2030. Sebelumnya, saat menjadi Bupati Purwakarta (2008-2018), ia dikenal sebagai pemimpin yang mengedepankan budaya Sunda dan semangat nasionalisme. Kebijakannya mencakup pembangunan taman seni, pemasangan patung tokoh wayang Sunda, dan penerapan pakaian adat di lingkungan kerja serta sekolah. Ia percaya bahwa budaya lokal adalah fondasi identitas yang memperkuat kebanggaan masyarakat.
Dalam visinya “Jabar Istimewa”, Dedi menekankan pentingnya nilai-nilai budaya Sunda yang selaras dengan ajaran Islam, seperti falsafah silih asah, silih asih, silih asuh (saling mengasah, menyayangi, dan mengasuh). Menurutnya, identitas Sunda tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tetapi saling memperkuat.
Gaya kepemimpinannya yang merakyat, sering turun langsung berdialog dengan petani, pedagang, dan warga kecil, memperkuat legitimasinya sebagai pemimpin yang mendengarkan suara rakyat. Pendekatan ini terlihat dari keaktifannya di media sosial, seperti YouTube, untuk membangun kedekatan dan transparansi.
Meski tak lepas dari kontroversi, pendekatan humanis, transparansi digital, dan sikap terbuka terhadap kritik menjadikan Dedi Mulyadi figur yang relevan di era demokrasi modern. Kemenangannya pada Pilgub Jawa Barat 2024 dengan 62,22% suara menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap visinya.
Mungkin inilah saatnya kita mempertimbangkan sosok seperti KDM sebagai pemimpin nasional di masa depan, seorang pemimpin yang tidak hanya berorientasi pada pencitraan, tetapi juga pada kerja nyata untuk kesejahteraan rakyat.
Penulis: Dr. Suriyanto Pd, SH.,MH.,M.Kn. Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia
==============
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News