Kopdes Merah Putih, Antara Ambisi, Realita, dan Risiko

Foto ilustrasi Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga (Instagram)

NyaringIndonesia.com – Wacana pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih kembali mengemuka. Namun, hingga kini, rencana ambisius ini masih tarik ulur antara keinginan besar dan kemampuan nyata. Awalnya, modal awal dirancang berasal dari bank-bank Himbara. Tapi, karena banyak pihak khawatir akan potensi kredit macet dan beban bunga, opsi itu digeser ke anggaran negara: APBN dan APBD.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Zulkifli Hasan, bahkan menyebutkan bahwa setiap koperasi akan mendapatkan suntikan dana antara Rp3 hingga Rp5 miliar, yang bersumber dari APBN dan APBD. Di sisi lain, Mendagri Tito Karnavian menekankan bahwa pendanaan ini akan dibebankan ke APBD perubahan pada Mei 2025.

Masalahnya, lebih dari separuh daerah di Indonesia sangat bergantung pada dana pusat. Sekitar 62% pemerintah kabupaten/kota tergolong belum mandiri secara fiskal. Bahkan menurut BPK, hampir 88% dari 503 pemerintah daerah masih mengandalkan transfer pusat. Jika demikian, dari mana mereka akan ambil dana untuk modal koperasi?

Beban APBD dan Dilema Prioritas

APBD di banyak daerah sudah terbebani oleh sektor prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan penanganan bencana. Memberikan modal kepada Kopdes berisiko mengorbankan kebutuhan yang lebih mendesak. Bila Kopdes gagal berkembang karena kurang modal dari APBD, maka satu-satunya jalan mungkin kembali ke pinjaman bank yang justru ingin dihindari sejak awal.

Janji Manis, Hitungannya Pahit

Wamenkop Ferry Juliantono menyampaikan target mencengangkan: Rp400 triliun modal bisa menghasilkan Rp2.000 triliun dalam dua tahun. Lima kali lipat! Tapi benarkah semudah itu?

Kalau kita pakai logika sederhana, rasio 5:1 adalah angka yang sangat tinggi untuk ukuran investasi koperasi. Untuk meraih keuntungan Rp2.000 triliun, pendapatan bersihnya harus jauh lebih besar dari total modal. Itu baru masuk akal jika margin keuntungan sangat besar, biaya efisien, dan volume bisnis masif. Tapi di mana penjelasan lengkap soal model bisnis, strategi pasar, dan efisiensi biaya?

Masalah-Masalah yang Mengintai

Beberapa hal penting juga perlu diperhitungkan:

1. Kapasitas fiskal negara menipis. APBN 2025 mengalami defisit Rp104 triliun. Beban subsidi dan program prioritas lainnya saja sudah cukup berat.
2. Kebutuhan SDM dan infrastruktur. Koperasi bukan hanya soal uang, tapi juga soal sistem, pelatihan, dan orang-orang yang mampu menjalankannya dengan baik.
3. Akses pasar. Tanpa koneksi pasar yang kuat, koperasi hanya akan jadi badan usaha stagnan.

Risiko Gagal: Sudah Banyak Contohnya

Risiko kegagalan Kopdes bukan sekadar kemungkinan ini nyaris keniscayaan jika tidak dikelola dengan hati-hati. Dari sisi internal, banyak koperasi gagal karena manajemen buruk, minim partisipasi anggota, dan tata kelola yang tidak transparan. Dari sisi eksternal, ketergantungan pada pemerintah, buruknya infrastruktur, dan ketidakpastian ekonomi makin memperbesar potensi kegagalan.

Belum lagi risiko korupsi, nepotisme dalam penunjukan pengurus, dan lemahnya pengawasan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa program dengan suntikan dana besar namun tanpa kontrol ketat, kerap berakhir sebagai proyek gagal.

Akhir Kata: Butuh Rasionalitas, Bukan Sekadar Niat Baik

Kopdes bisa jadi solusi besar bagi ekonomi desa tapi hanya jika dibangun dengan pondasi realistis dan manajemen yang profesional. Tanpa itu, dana triliunan hanya akan jadi sia-sia. Masyarakat tak butuh janji muluk. Mereka butuh kebijakan yang benar-benar berpihak dan bisa dijalankan, bukan mimpi indah yang membawa malapetaka.

Oleh Rahma Gafmi, Guru Besar Universitas Airlangga

Berita Utama