Jakarta, NyaringIndonesia.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami keberadaan sepeda motor Royal Enfield yang ditemukan di kediaman mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Kendaraan tersebut kini menjadi sorotan publik karena terdaftar atas nama ajudan Ridwan Kamil, bukan atas nama pribadinya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, menjelaskan bahwa pihaknya masih menelusuri keterkaitan antara kepemilikan administratif dengan keberadaan fisik kendaraan tersebut di rumah pribadi Ridwan Kamil.
“Biar tidak jadi salah persepsi terkait dengan Pak RK, kita sedang telusuri. Jadi bukan berarti beliau menyamarkan asetnya. Dari dokumen STNK dan BPKB, kendaraan itu memang bukan atas nama Pak RK, melainkan atas nama ajudannya,” ujar Asep dalam keterangan kepada wartawan, Minggu (27/7).
Meski bukan terdaftar atas nama Ridwan Kamil, motor tersebut tetap disita karena ditemukan secara fisik di kediamannya saat penggeledahan oleh KPK pada 10 Maret 2025. Asep menegaskan, penyitaan dilakukan berdasarkan keberadaan barang, bukan semata-mata berdasarkan nama di dokumen kepemilikan.
“Karena itu ditemukan di rumah beliau, maka kami menyita. Sekarang sedang kami selidiki posisi hukum dan hubungan faktual antara pemilik sah di dokumen dengan pihak yang menyimpan atau menguasai kendaraan tersebut,” tambahnya.
Selain motor Royal Enfield, KPK juga menyita satu unit mobil Mercedes-Benz 280 SL. Kedua kendaraan itu diduga sengaja didaftarkan atas nama pegawai atau pihak lain sebagai upaya penyamaran kepemilikan aset.
Penggeledahan tersebut merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan korupsi dana iklan Bank BJB. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan mantan Direktur Utama PT Bank BJB, Yuddy Renaldi, sebagai tersangka bersama empat orang lainnya.
Selain Yuddy, KPK juga menetapkan Pimpinan Divisi Corporate Secretary BJB, Widi Hartoto, serta tiga pihak dari agensi periklanan berinisial ID, SUH, dan SJK. Dugaan korupsi ini berkaitan dengan pengadaan dan penayangan iklan di media televisi, cetak, dan online, yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp222 miliar.