Cimahi, NyaringIndonesia.com – Tekanan jual yang melanda pasar kripto dalam beberapa pekan terakhir diduga tak hanya dipicu aksi ambil untung atau faktor makroekonomi. Penurunan tajam itu dinilai berkaitan erat dengan masalah likuiditas yang menimpa para market maker pascakejatuhan pasar pada Oktober.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Pendapat tersebut disampaikan oleh Tom Lee, Chairman BitMine perusahaan yang bergerak di bidang treasury Ether seperti diberitakan Cointelegraph pada Jumat (21/11/2025).
Dalam wawancara dengan CNBC sehari sebelumnya, Kamis (20/11/2025), Lee menjelaskan bahwa anjloknya pasar pada 10 Oktober, yang memicu likuidasi mencapai rekor US$20 miliar, telah membuat sejumlah market maker terjebak dalam kondisi likuiditas yang sangat ketat.
Menurut dia, kerugian besar dan menurunnya aktivitas perdagangan membuat sumber pendapatan para market maker ikut tergerus sehingga ruang gerak modal mereka menyempit.
“Mereka terpaksa mengecilkan neraca untuk membebaskan kembali modal,” ujarnya.
“Jika neraca mereka berlubang dan butuh tambahan modal, langkah cepat yang bisa dilakukan adalah memangkas eksposur dan mengurangi aktivitas trading. Dan ketika harga terus melemah, posisi yang harus mereka lepas justru makin besar. Itulah mengapa tekanan jual yang tampak perlahan ini menunjukkan market maker sedang pincang.”
Lee, yang juga merupakan co-founder Fundstrat, menekankan bahwa market maker berperan seperti “bank sentral” di pasar kripto karena menyediakan likuiditas. Gangguan pada mereka otomatis menimbulkan efek berantai ke seluruh pasar.
“Pergerakan pasar saham saat ini masih merupakan gema dari apa yang terjadi pada 10 Oktober. Tetapi likuidasi pada hari itu begitu masif hingga benar-benar menekan para market maker,” kata Lee.
Sebelum insiden tersebut, harga Bitcoin (BTC) sempat melampaui US$121.000. Kini, BTC berada di kisaran US$86.900, sejalan dengan tren pelemahan di berbagai aset kripto.
Lee memperkirakan proses pelepasan posisi (unwinding) oleh market maker masih akan berlanjut beberapa minggu lagi sebelum keadaan mulai pulih. Ia membandingkan situasi saat ini dengan peristiwa pada 2022 yang membutuhkan delapan minggu hingga kondisinya kembali stabil.
“Kita baru memasuki minggu keenam. Jadi saya sepakat bahwa pergerakan kripto—Bitcoin maupun Ethereum—sering kali jadi indikator awal bagi pasar saham, terutama karena proses unwinding dan kondisi likuiditas yang saat ini rapuh,” jelasnya.
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News