Jakarta, NyaringIndonesia.com – Aktivis Nicho Silalahi mengkritik keras rencana alih fungsi hutan untuk mencetak sawah baru, yang dinilai sebagai kedok untuk tujuan yang lebih besar: eksploitasi kayu di hutan demi kepentingan segelintir pihak.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurutnya, alih fungsi hutan tersebut lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu daripada memberikan solusi nyata bagi ketahanan pangan. “Alih fungsi hutan untuk mencetak sawah baru hanyalah cara mereka untuk menutupi tujuan utama, yaitu merampok kayu di hutan demi memperkaya diri,” ujar Nicho.
Dilansir dari eramuslim.com, Ia juga menyoroti bahwa banyak sawah produktif yang sebelumnya menjadi lumbung pangan kini dialihfungsikan menjadi kawasan betonisasi. Sebagai contoh, Nicho menyebut proyek strategis nasional (PSN) seperti Pantai Indah Kapuk (PIK), yang menjadi bukti nyata di mana lahan pertanian produktif diubah menjadi kawasan komersial.
“Faktanya, sawah-sawah produktif yang dulunya menjadi lumbung pangan sekarang sudah banyak yang ditanami beton,” tambahnya.
“Dengan kondisi seperti ini, kita harus bertanya, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Apakah rakyat, atau hanya segelintir elite?” tutup Nicho.
Sebelumnya, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai cadangan untuk pangan, energi, dan air. Rencana ini bertujuan mendukung program swasembada pangan yang diinisiasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Salah satu implementasinya adalah pemanfaatan 1,1 juta hektare lahan untuk penanaman padi gogo, yaitu varietas padi yang dapat tumbuh di lahan kering. Bibit padi gogo yang akan digunakan dikembangkan oleh Universitas Soedirman (Unsoed) dan diperkirakan mampu menghasilkan 3,5 ton beras per hektare. Dengan demikian, pemerintah menargetkan tambahan stok beras hingga 3,5 juta ton per tahun, jumlah yang setara dengan impor beras pada tahun 2023.
Namun, rencana ini menuai berbagai tanggapan. Beberapa pihak mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam mengubah fungsi hutan menjadi lahan pertanian dan energi, mengingat potensi dampak negatif terhadap lingkungan, seperti peningkatan emisi karbon, risiko kebakaran hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa pemanfaatan 20 juta hektare hutan ini bukan merupakan tindakan deforestasi.
Ia menyatakan bahwa pemerintah akan memastikan pengelolaan lahan dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan, dengan tetap memperhatikan aspek konservasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.