Bandung, NyaringIndonesia.com – Lebaran di tahun 90-an memiliki nuansa yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan tahun 2000-an. Di masa lalu, suasana lebaran bisa terasa sepanjang minggu, namun seiring dengan berjalannya waktu, terutama setelah memasuki era 2000-an, fenomena tersebut semakin memudar.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Kini, bahkan pada hari pertama lebaran, aktivitas silaturahmi bisa terasa lebih singkat, hanya sampai pukul 12 siang. Perubahan signifikan ini bukanlah tanpa sebab, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang seiring waktu.
1. Perubahan Gaya Hidup
Pada tahun 90-an, kehidupan masyarakat masih sangat berpusat pada komunitas yang erat. Kebiasaan saling mengunjungi atau “halal bihalal” menjadi tradisi yang berlangsung berhari-hari. Hari-hari pertama lebaran menjadi waktu bagi keluarga besar dan tetangga untuk saling berkumpul, menjalin silaturahmi, dan merayakan kemenangan bersama. Tidak jarang, kegiatan ini berlangsung hingga seminggu penuh.
Namun, pada era 2000-an, terjadi perubahan besar dalam gaya hidup masyarakat. Mobilitas yang semakin tinggi dan kehidupan yang semakin individualistis menyebabkan banyak orang lebih memilih untuk fokus pada aktivitas pribadi atau pekerjaan. Dengan demikian, waktu yang digunakan untuk silaturahmi semakin terbatas. Kebiasaan untuk berkumpul hingga berhari-hari pun mulai menghilang, dan kunjungan hanya dilakukan pada hari pertama lebaran.
2. Perubahan Ekonomi dan Mobilitas
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi perubahan suasana lebaran adalah mobilitas masyarakat. Pada tahun 90-an, banyak orang yang tetap tinggal di kampung halaman selama lebaran. Hal ini memungkinkan mereka untuk melaksanakan tradisi lebaran secara lebih lama dan intens.
Namun, dengan semakin meningkatnya urbanisasi, banyak orang yang merantau ke kota-kota besar dan hanya memiliki waktu libur yang terbatas. Ini membuat kunjungan saat lebaran menjadi lebih singkat, hanya dilakukan pada hari pertama, sebelum kembali menjalankan aktivitas sehari-hari.
3. Pengaruh Teknologi
Di era digital, teknologi berperan besar dalam mengubah cara orang berinteraksi. Mulai tahun 2000-an, penggunaan ponsel dan media sosial semakin mendominasi cara orang berkomunikasi.
Ucapan selamat lebaran yang dahulu disampaikan melalui kunjungan langsung, kini bisa dilakukan melalui pesan singkat atau media sosial. Walaupun tetap ada keinginan untuk menjaga silaturahmi, kenyamanan dan kepraktisan teknologi membuat banyak orang merasa cukup dengan ucapan virtual. Akibatnya, kunjungan fisik pun berkurang signifikan, terutama untuk keluarga atau teman yang jauh.
4. Perubahan Tradisi Keluarga
Sebelumnya, lebaran menjadi momen untuk mengadakan pertemuan besar-besaran dalam keluarga. Tradisi ini tidak hanya berlaku di kota besar, tetapi juga di desa-desa. Namun, seiring waktu, banyak keluarga yang mulai mengurangi acara tersebut dengan berbagai alasan, seperti kesibukan, perubahan nilai tradisional, atau urbanisasi yang mempengaruhi pola kehidupan mereka.
Keberadaan anggota keluarga yang tersebar di berbagai tempat juga membuat pertemuan besar lebih sulit terlaksana. Kendati demikian, nilai-nilai inti lebaran—silaturahmi dan saling memaafkan—tetap menjadi dasar dalam merayakan Idul Fitri, meskipun cara pelaksanaannya telah berubah.
Mengenang Tradisi Mawakeun (Nganteuran)
Selain perubahan besar dalam suasana lebaran, ada pula tradisi khas yang kini hanya tinggal kenangan. Salah satunya adalah tradisi mawakeun (nganteuran), yang saya kenal sejak kecil. Menjelang lebaran, tradisi ini mengharuskan keluarga untuk mengantar makanan ke tetangga, sanak saudara, dan orang yang lebih tua.
Makanan yang diantar umumnya berupa nasi, daging, dan bebecek (sejenis sayuran khas Sunda), yang disajikan menggunakan rantang—alat makan khas zaman dahulu.
Meskipun tradisi ini terkesan sederhana, namun rasa kebersamaan dan kegembiraan yang dirasakan saat membantu orang tua memasak dan mengantar makanan tak tergantikan. Tak ada rasa lelah atau berat, karena itu merupakan bentuk penghormatan kepada orang lain dan simbol dari kekuatan tali silaturahmi yang terjalin erat di masyarakat. Kini, meskipun *mawakeun* sudah jarang dilakukan, kenangan akan tradisi tersebut tetap hidup dalam ingatan banyak orang.
Kesimpulan
Fenomena perubahan suasana lebaran dari tahun 90-an ke 2000-an menggambarkan bagaimana dinamika sosial masyarakat turut berubah seiring perkembangan zaman. Dari gaya hidup yang semakin individualistis hingga pengaruh teknologi yang merubah cara orang berkomunikasi, lebaran tidak lagi sama seperti dahulu.
Namun, meskipun cara pelaksanaannya berbeda, esensi dari Idul Fitri—yakni silaturahmi dan saling memaafkan—tetap dapat dijaga dan dirayakan. Tradisi-tradisi lama mungkin mulai memudar, namun nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya hendaknya tetap hidup dan menginspirasi generasi penerus.
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News