Mahfud MD dan Rocky Gerung Soroti Dugaan Mark-Up Proyek Whoosh: Beban Utang dan Potensi Pidana

Proyek Whoosh kini tidak lagi sekadar proyek infrastruktur, tetapi telah menjadi isu politik, ekonomi, dan hukum. Dengan potensi kerugian besar, tekanan publik semakin kuat agar pemerintah bersikap transparan, mengevaluasi proyek ini secara menyeluruh, dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum yang menyertainya

Jakarta, NyaringIdonesia.com – Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) kembali menuai sorotan tajam, kali ini datang dari dua tokoh publik ternama: pakar hukum tata negara Mahfud MD dan pengamat politik Rocky Gerung. Keduanya secara terbuka mengkritisi proyek senilai Rp116 triliun tersebut, yang mereka nilai sarat masalah mulai dari tata kelola hingga dugaan korupsi.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Proyek yang digagas dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini kini dianggap sebagai “dosa warisan” pemerintahan sebelumnya, dengan beban utang besar yang dinilai tidak sesuai dengan performa layanan maupun nilai keekonomian.

Dalam unggahan di kanal YouTube resminya (14/10/2025), Mahfud MD mengungkap bahwa dari awal proyek Whoosh telah bermasalah, terutama dalam aspek transparansi, akuntabilitas hukum, dan efisiensi anggaran negara.

Mahfud mengklaim, ia mendapat konfirmasi atas dugaan mark-up dari pernyataan ekonom Agus Pambagio dan Anthony Budiawan, yang menyebut biaya per kilometer kereta cepat di Indonesia mencapai USD 52 juta, sementara di Tiongkok hanya USD 17–18 juta. “Ini tiga kali lipat. Uangnya ke mana? Ini yang harus diperiksa,” ujarnya.

Mahfud juga menyinggung keputusan pemerintah memindahkan kerja sama dari Jepang ke China. Ia menyebutkan bahwa Jepang awalnya menawarkan pinjaman bunga rendah 0,1% dengan tenor 40 tahun, namun ditolak dan digantikan oleh China yang menawarkan bunga lebih tinggi (hingga 3,4%) dengan skema Business-to-Business (B2B).

Mantan Menko Polhukam ini juga mengungkap bahwa Ignasius Jonan, Menhub saat itu, sempat menyatakan ketidaksetujuan atas kerja sama dengan China karena tidak layak (not feasible). Jonan kemudian dicopot dari jabatannya.

“Kalau negara tidak mampu bayar, maka proyek bisa dipailitkan. Ini sangat membebani bangsa, dan kita harus selesaikan secara hukum, termasuk jika ada unsur pidana,” tegas Mahfud.

Sementara itu, Rocky Gerung menyebut proyek Whoosh sebagai bentuk skandal kebijakan yang dipaksakan tanpa pertimbangan matang. Dalam tayangan di kanal YouTube-nya (18/10/2025), ia menyatakan bahwa Jokowi tak bisa menghindar dari tuduhan publik terkait dugaan mark-up.

Menurut Rocky, proyek ini awalnya tak mendesak secara kebutuhan publik, mengingat waktu tempuh kereta cepat hanya menghemat sekitar 30 menit dibanding transportasi reguler.

“Kereta cepat ini seharusnya tidak jadi prioritas. Sekarang jadi beban utang dan moral bangsa,” katanya.

Rocky juga menyebut bahwa pemindahan mitra dari Jepang ke China tanpa keterlibatan DPR menimbulkan pertanyaan serius soal akuntabilitas dan potensi pelanggaran hukum. “Skema B2B itu akhirnya menyeret negara karena jika bangkrut, maka negara harus turun tangan. Di sinilah letak potensi pidananya,” ujarnya.

Meski diresmikan megah pada 2 Oktober 2023, performa Whoosh belum memenuhi harapan. Hingga pertengahan 2025, jumlah penumpang harian hanya mencapai 16.000–22.000 orang, jauh dari target 31.000 penumpang per hari.

Pendapatan dari tiket juga belum mampu menutup beban bunga utang yang mencapai Rp2 triliun per tahun, sementara pendapatan maksimal dari tiket hanya sekitar Rp1,5 triliun per tahun. Akibatnya, PT KAI dan konsorsium BUMN harus menanggung selisih besar tersebut.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang proyek Whoosh tidak akan dibayar melalui APBN, melainkan menjadi tanggung jawab lembaga pengelola KCIC, yakni BPI Danantara.

Keputusan ini didukung penuh oleh Mahfud. “Benar Purbaya tidak mau bayar pakai APBN. Karena ini membebani rakyat dan mengorbankan pembangunan lainnya,” tegasnya.

Mahfud juga mengingatkan bahwa skenario seperti ini pernah terjadi di negara lain. Ia menyebut contoh Sri Lanka, yang akhirnya kehilangan kendali atas pelabuhan Hambantota karena gagal bayar utang ke China. Ia mewanti-wanti agar Indonesia tidak mengalami hal serupa, misalnya dengan wilayah strategis seperti Laut Natuna Utara dijadikan kompensasi.

Kedua tokoh ini mendorong dilakukannya audit forensik menyeluruh serta penyelidikan hukum, baik pidana maupun perdata. Mahfud bahkan menilai perlu ada proses hukum agar bangsa ini tidak terus “memaklumi” kesalahan masa lalu.

“Kalau memang ada mark-up dan uang negara dirugikan, itu pidana. Jangan dibiarkan. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi,” ujarnya.

Proyek Whoosh kini tidak lagi sekadar proyek infrastruktur, tetapi telah menjadi isu politik, ekonomi, dan hukum. Dengan potensi kerugian besar, tekanan publik semakin kuat agar pemerintah bersikap transparan, mengevaluasi proyek ini secara menyeluruh, dan mengusut tuntas dugaan pelanggaran hukum yang menyertainya.

 

==================

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Editor : NI1

Berita Utama