Bogor, NyaringIndonesia.com – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menanggung utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB). Penegasan ini disampaikan Purbaya sebagai respons terhadap salah satu opsi yang tengah dikaji oleh Danantara, yakni menyerahkan aset infrastruktur KCJB kepada negara.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!“Kalau sudah dibentuk Danantara, tentu mereka punya manajemen sendiri, dividen sendiri, yang rata-rata bisa mencapai Rp80 triliun per tahun. Harusnya mereka kelola dari sana, jangan ke kami lagi,” ujar Purbaya dalam konferensi video saat acara media gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).
Ia menekankan bahwa sejak pembentukan Danantara sebagai induk seluruh BUMN, penerimaan negara dalam bentuk dividen tidak lagi masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Oleh karena itu, menurutnya, sudah sepatutnya badan usaha tersebut juga menanggung risiko finansial atas proyek yang dikelolanya.
“Jangan kalau untung untuk swasta, kalau buntung dilempar ke pemerintah. Ini kan memang sedang dipisahkan antara ranah swasta dan pemerintah,” tegas Purbaya.
Sebelumnya, Chief Operating Officer Danantara Dony Oskaria menyampaikan pihaknya tengah mengkaji dua opsi untuk menyelesaikan pembiayaan proyek KCJB. Pertama, dengan menambah modal (equity), dan kedua, dengan menyerahkan infrastruktur kereta cepat kepada pemerintah.
“Apakah kemudian kita tambahkan equity atau memang infrastrukturnya diserahkan, sebagaimana model industri perkeretaapian lain yang infrastrukturnya dimiliki pemerintah. Dua opsi ini masih kami kaji,” kata Dony dalam acara Investor Daily Summit, Kamis (9/10/2025).
Dony mengeklaim proyek KCJB telah memberikan dampak ekonomi signifikan, terutama dalam meningkatkan konektivitas dan efisiensi waktu tempuh. Saat ini, jumlah penumpang disebut mencapai 30.000 orang per hari.
Namun, ia menekankan bahwa solusi pembiayaan tetap harus memperhatikan keberlanjutan PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang merupakan pemimpin konsorsium KCJB.
“Di satu sisi proyek ini sangat bermanfaat, tapi kami juga harus menjaga keberlanjutan KAI, karena sekarang KCIC berada di bawah KAI,” ujarnya.
Di sisi lain, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani mengungkapkan bahwa proses restrukturisasi utang KCJB dengan pihak pemerintah dan mitra asal Tiongkok masih berlangsung.
“Masih berjalan dengan pihak China, baik dengan pemerintah maupun perusahaan mitra,” kata Rosan di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Ia menambahkan, pembahasan difokuskan pada penyusunan skema pembiayaan baru yang lebih berkelanjutan agar risiko keuangan di proyek-proyek besar serupa dapat diminimalkan di masa depan.
“Kita ingin reformasi total dalam sistem pembiayaan proyek seperti ini, supaya kasus seperti ini tidak terulang,” tegas Rosan.
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung diresmikan pada Oktober 2023 dengan skema kepemilikan 60 persen oleh konsorsium Indonesia dan 40 persen oleh mitra dari Tiongkok. Proyek ini awalnya diperkirakan menelan biaya US$5,5 miliar (sekitar Rp89,6 triliun), namun mengalami pembengkakan hingga mencapai US$7,27 miliar (sekitar Rp118,4 triliun).
Dari pembengkakan biaya tersebut, sekitar 75 persen ditutup melalui pinjaman baru dari China Development Bank, sementara 25 persen sisanya berasal dari tambahan ekuitas Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), operator proyek tersebut.
Kini, dengan beban utang yang terus menekan, pertanyaan besar pun mencuat: siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Bagi Purbaya, jawabannya jelas bukan APBN.
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News