CIMAHI, NyaringIndonesia.com – Sebagai salah satu pegiat musik tardisional muda asal Cimahi, Gani Abdul Rahman menegaskan bahwa para pegiat seni tradisional kini dituntut memahami dinamika perkembangan zaman.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurutnya, seniman tradisi perlu menyesuaikan diri dengan perubahan selera masyarakat yang semakin akrab dengan musik modern.
Ia berharap pemerintah daerah memberi ruang yang lebih layak bagi pelaku seni tradisi agar bisa berkarya secara berkelanjutan dan terlibat lebih intens dengan generasi muda, bukan hanya pada agenda-agenda tertentu.
“Adanya Imah Seni memang sangat membantu. Namun kami bermimpi memiliki sebuah gedung kebudayaan yang dapat dimanfaatkan secara serius untuk pengembangan musik tradisional,” ujar Gani di AWC pada Jum’at (28/11/25).
Menurutnya, keberadaan pusat kegiatan budaya dapat turut mendorong meningkatnya rasa bahagia di tengah masyarakat.
“Kami ingin memberi ruang berekspresi, sekaligus wadah bagi anak muda Cimahi untuk terus merawat budaya Sunda,” tambahnya.
Saat ini, Gani Abdul Rahman aktif mendorong pelestarian berbagai aspek seni Sunda, mulai dari musik, tradisi, hingga nilai-nilai yang diwariskan leluhur.
“Jenis musik yang kami jaga di antaranya Karinding, Tarawangsa, Beluk, hingga ragam musik tradisional lainnya seperti Gamelan,” ungkapnya.
Pada malam penganugerahan itu, Komunitas Sosora menampilkan Rajah, Rampak Karinding, dan monolog Sunda yang diiringi Tarawangsa di hadapan jajaran pejabat Kota Cimahi.
Meski hidup di tengah derasnya arus modernisasi, komunitas ini tidak memilih bersaing dengan musik populer. Mereka lebih memilih melebur dan berkolaborasi, bahkan kini rutin tampil bersama sejumlah band modern yang sedang berkembang di Cimahi.
“Kami tidak merasa tersisih dengan masifnya musik modern. Justru kami merangkulnya. Salah satunya lewat kolaborasi bersama Dawai and the Ethnicity,” katanya sambil merapikan totopong yang ia kenakan.
Gani menyebut kolaborasi itu bukan hanya bentuk penyesuaian, tetapi strategi untuk membuat seni Sunda lebih relevan bagi publik masa kini.
“Musik tradisi kami padukan dengan musik modern. Kolaborasi antara Komunitas Sosora dan Dawai and the Ethnicity menghasilkan harmoni yang sangat pas,” tuturnya antusias.
Ia juga menyampaikan pesan kepada generasi muda yang menganggap seni tradisional tidak lagi menarik atau ketinggalan zaman.
“Justru keberagaman seni tradisi—baik musik, tarian, adat, hingga situs budaya—adalah kekayaan yang membedakan Indonesia dari negara lain. Itu warisan berharga yang harus dijaga,” jelasnya.
Baginya, musik tradisi merupakan identitas penting yang harus diwariskan.
“Regenerasi harus terus dilakukan agar musik tradisi tidak terputus,” tegas pria berusia 30 tahun tersebut.
Gani menuturkan bahwa ketertarikannya pada seni Sunda tumbuh sejak kecil melalui pengaruh orang tua serta kakek-neneknya yang juga merupakan pelaku seni. Instrumen pertama yang ia pelajari adalah Degung ketika duduk di bangku kelas 4 SD.
“Sejak kelas 4 kami sudah diperkenalkan dengan musik tradisi. Degung adalah instrumen pertama yang saya pelajari. Lalu sekitar tahun 2009 kami mulai mendalami Karinding dan berbagai musik tradisional lainnya,” ujarnya sambil memegang Karinding di tangannya.
Sebagian besar anggota Komunitas Sosora, kata Gani, memang berasal dari keluarga seniman tradisi. Meski budaya Barat terus mengalir masuk, mereka tetap menjaga jati diri dengan mengenakan iket dan pangsi dalam setiap penampilan.
“Itu tetap kami pertahankan, apa pun perkembangan zaman yang terjadi,” tandasnya. (Bzo)