CIMAHI, NyaringIndonesia.com – Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. Melalui pemilus etiap warga Negara dapat menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin bagi daerahnya maupun bagi negaranya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu untukm emilih Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, serta anggota DPRD diselenggarakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Pemilu seringkali di identikan sebagai pesta rakyat, namun demikian pada
hakikatnya pemilu merupakan salah satu cara atau alat guna meraih kekuasaan yang dilegalkan oleh undang-undang. Sehingga seringkali para peserta melakukan berbagai macam cara guna meraih kekuasaan tersebut.
Tidak jarang pula upayaupaya tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti black campaign hingga money politic. Dewasa ini, perkembangan media sosial di dunia termasuk Indonesia sangatlah pesat. Dan tidak dapat dipungkiri setiap orang Indonesia saat ini begitu gemar berselancar di media sosial. Media social ini tentu memiliki dampak positif dan negatif, dimana salah satu dampak positifnya adalah mudah dan cepatnya seseorang dalam mendapatkan informasi.
Disisi lain salah satu dampak negatif dari media sosial ialah seringkali digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk menyebarkan berita-berita bohong/hoax serta isu SARA. Sehingga dapat menimbulkan perselisihan diantara masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bersama di pemilu tahun 2019 isu SARA ini
menjadi salah satu isu paling trend/hit di masa itu. Dan efeknya pun masih terasa hingga saat ini. Dimana seolah-olah masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua kubu.
Padahal sejatinya pemilu merupakan sarana perwujudan dari kedaulatan
rakyat. Seperti yang diungkapkan oleh Budiardjo (2007) menyatakan bahwa
kedaulatan adalah suatu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang betujuan untuk membuat Undang-Undang dan mengatur bagaimana pelaksanaan atau penerapan dari Undang-Undang yang telah dibuat.
Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dipahami bahwa pemilu merupakan wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Selanjutnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) merupakan bagian dari penyelenggara pemilu.
Kedua lembaga ini tentunya memiliki peran penting dalam pelaksanaan dan perwujudan pemilu yang langsung, umum, bebas, jujur, dan adil. Sebagai lembaga penyelenggara, tentunya KPU dan Bawaslu harus mampu bersikap objektif dalam setiap melaksanakan tugasnya.
Selain itu kedua lembaga
ini pun harus mampu menjadi motor penggerak utama dalam hal mensosialisasikan dan mewujudkan pemilu yang bersih dari hoax, dan meminimalisir ujaran kebencian, isu SARA serta money politik. Dalam mewujudkan hal tersebut tentunya harus mendapatkan dukungan dari berbagai elemen maupun stakeholder terkait, baik itu dari pemerintah, partai politik, maupun partisipasi aktif dari masyarakat.
Misalnya, Partai politik selain sebagai peserta dalam pemilu, juga dapat
berperan sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Hayer (dalam Kartono, 2009, hlm.64) menjelaskan bahwa “pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang bertanggung jawab dalam politik”. Pendidikan
politik diartikan sebagai pendidikan yang mewajibkan warga negara mengenali hak dan kewajiban agar masyarakat tahu tentang moral. Dari sini dapat kita lihat bahwa proses pendidikan politik adalah proses pendewasaan individu dalam berpolitik.
Dalam hal ini kartono (dalam Sadel; dkk, 2009, hlm.13) memberikan
penjelasan tentang pendidikan politik sebagai berikut:
Bentuk pendidikan bagi orang dewasa dengan jalan menyiapkan kaderkader untuk pertarungan dan mendapatkan penyelesaian politik, agar menang dalam perjuangan politik.Pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu tingkatan di dalam sistem politik”.
Di negara demokrasi
konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang kemudian dilaksanakan secara bersama-sama untuk menetapkan tujuan-tujuan masyarakat itu serta untuk menentukan orang-orang yang akan menjadi pemimpin di masyarakat tersebut.
Setiap anggota masyarakat yang ikut serta dalam proses politik, misalnya
dalam kegiatan pemilihan umum atau pemberian suara, setiap individu secara sadar terdorong oleh keyakinan bahwa kegiatan tersebut dapat menyalurkan aspirasi atau
kepentingannya dan sedikitnya mampu mempengaruhi pihak-pihak yang berwenang untuk membuat keputusan akan sesuai dengan apa yang di butuhkan oleh masyarakat.
Sehingga apabila ketiga elemen tersebut dalam hal ini penyelenggara
pemilu, partai politik, dan masyarakat saling bergotong royong menjalankan peran serta memahami tugas dan fungsinya masing-masing, maka mewujudkan pemilu 2024 yang riang gembira bukanlah sesuatu hal yang utopis.
Penulis : Anzhar Ishal A, M.Pd