PM Nepal Oli Mengundurkan Diri di Tengah Gejolak Politik dan Kerusuhan

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Perdana Menteri Nepal Khadga Prasad Oli resmi mengundurkan diri pada Selasa (9/9), setelah gelombang protes anti-pemerintah yang berujung kerusuhan mengguncang negeri di Himalaya tersebut.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

“Dengan mempertimbangkan situasi buruk di negara ini, saya mengundurkan diri efektif hari ini untuk memfasilitasi solusi atas masalah ini dan membantu menyelesaikannya secara politik sesuai konstitusi,” tulis Oli dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ram Chandra Poudel.

Keputusan itu diumumkan tidak lama setelah para demonstran membakar rumah pejabat tinggi Nepal, termasuk kediaman Presiden Poudel dan Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak.

Risiko Kekosongan Politik

Para pakar hukum tata negara memperingatkan Nepal terancam menghadapi kekacauan politik berkepanjangan jika tidak segera dibentuk pemerintahan persatuan nasional.

“Tidak ada ketentuan konstitusional yang jelas mengenai apa yang seharusnya terjadi dalam situasi seperti ini,” ujar Bipin Adhikari, profesor hukum tata negara Universitas Kathmandu.

Menurutnya, salah satu opsi adalah presiden menyerukan pembentukan pemerintahan konsensus nasional. “Perdana menteri harus dipilih dari parlemen sesuai konstitusi 2015, sambil memastikan tuntutan generasi muda Gen Z diakomodasi,” katanya kepada DW.

C.D. Bhatta, ilmuwan politik sekaligus manajer program senior di Friedrich Ebert Foundation (FES) Nepal, menilai kredibilitas partai politik kini “menjadi tidak relevan.”

“Semua pihak mencoba memanfaatkan situasi untuk memimpin pemerintahan. Kita sudah memasuki kekosongan politik dan konstitusional,” ujarnya. Ia menambahkan, presiden harus segera mengambil alih dengan dukungan militer.

Akar Kerusuhan

Nepal yang terjepit di antara India dan Tiongkok telah lama menghadapi ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi. Gelombang protes terbaru dipicu keputusan pemerintah melarang 26 platform media sosial, termasuk Facebook, X, YouTube, LinkedIn, dan WhatsApp.

Larangan itu diduga dikeluarkan setelah video anak pejabat Nepal yang menampilkan gaya hidup mewah beredar luas, memicu kemarahan publik. Pemerintah beralasan platform tidak mematuhi aturan baru, yakni kewajiban membuka kantor penghubung di Nepal.

Namun, kelompok masyarakat sipil menilai kebijakan tersebut merupakan upaya membungkam kritik. “Ini langkah putus asa pemerintah yang tidak populer untuk membungkam lawan politiknya,” kata Tara Nath Dahal, ketua LSM Freedom Forum Nepal.

Banyak analis menilai larangan media sosial hanya pemicu. Frustrasi publik sebenarnya sudah lama menumpuk akibat korupsi dan tata kelola yang buruk. Protes dipelopori kalangan muda berusia 18–30 tahun, tanpa kepemimpinan terpusat.

“Kami tidak menentang sistem politik atau konstitusi. Kami menentang kronisme, partai politik, dan kepemimpinan yang tidak kompeten,” ujar seorang aktivis yang enggan disebut namanya.

Tuntutan Akuntabilitas

Senin (8/9), puluhan ribu warga mengepung gedung parlemen di Kathmandu. Aparat melepaskan tembakan, menewaskan sedikitnya 19 orang dan melukai sekitar 150 lainnya. Tak lama, gedung parlemen hangus terbakar.

Kelompok HAM menyerukan investigasi independen atas brutalitas aparat. “Kami mengecam penggunaan senjata mematikan maupun non-mematikan secara melawan hukum,” kata Nirajan Thapaliya, Direktur Amnesty International Nepal.

Di tengah tekanan, pemerintah akhirnya mencabut larangan media sosial pada Selasa pagi, beberapa jam sebelum Oli mengundurkan diri. Namun, kemarahan publik tidak surut, dengan aksi protes terus berlanjut meski diberlakukan jam malam tanpa batas.

Militer Nepal kemudian mengimbau masyarakat menahan diri melalui unggahan di X.

Respons Internasional

India, yang menampung ratusan ribu warga Nepal, menyerukan agar semua pihak menahan diri dan menyelesaikan konflik melalui dialog.

Sementara itu, kedutaan besar Australia, Finlandia, Prancis, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Norwegia, Jerman, dan Amerika Serikat di Nepal mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mendesak semua pihak menahan diri, menghindari eskalasi, serta menjamin penghormatan terhadap hak-hak fundamental.

Berita Utama