Jakarta, NyaringIndonesia.com – Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 20 Maret 2025 menimbulkan gelombang kritik dan penolakan dari berbagai kalangan. Keputusan ini dinilai bertentangan dengan semangat reformasi, terutama terkait dengan potensi kembalinya dwifungsi ABRI serta keterlibatan TNI dalam ranah sosial politik dan pemerintahan sipil.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Keputusan DPR ini semakin disorot tajam setelah munculnya informasi bahwa pembahasan revisi UU TNI dilakukan di hotel mewah Fairmont Jakarta di tengah kebijakan pemangkasan anggaran negara. Fakta ini memicu reaksi keras di media sosial, dengan tagar #TolakRUUTNI yang menjadi trending di platform X, meraih lebih dari 102.000 cuitan dalam waktu singkat.
Revisi UU TNI yang baru disahkan mencakup perubahan pada tiga pasal utama:
– Pasal 3: Menegaskan kembali kedudukan TNI dalam sistem pemerintahan negara.
– Pasal 47: Mengatur penempatan prajurit aktif di jabatan sipil, yang dikhawatirkan membuka peluang keterlibatan militer dalam sektor-sektor non-militer.
– Pasal 53: Menyesuaikan usia pensiun prajurit, yang dapat berdampak pada dinamika struktural dalam tubuh TNI.
Khusus pada Pasal 47, publik menilai bahwa regulasi ini berpotensi memberikan jalan bagi anggota aktif TNI untuk menduduki jabatan strategis di kementerian, lembaga negara, serta BUMN. Hal ini dianggap sebagai langkah mundur dalam reformasi militer, yang sejak 1998 telah menegaskan pemisahan antara TNI dan ranah sipil demi mencegah dominasi militer dalam pemerintahan.
Selain aspek politis, revisi UU TNI juga memicu sorotan tajam terhadap transparansi anggaran. Publik menemukan data pengeluaran TNI dalam portal Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Bigbox, yang mencantumkan pembelian celana dalam pria senilai Rp 172 juta.
Temuan ini semakin memperkuat skeptisisme masyarakat terhadap pengelolaan keuangan di institusi pertahanan, yang seharusnya berorientasi pada peningkatan profesionalisme dan kesiapan tempur, bukan pada belanja yang dianggap tidak mendesak dan boros.
Gelombang protes datang dari akademisi, aktivis, serta masyarakat sipil, yang menilai bahwa revisi UU TNI dilakukan secara tergesa-gesa tanpa melibatkan partisipasi publik yang memadai.
Kekhawatiran utama adalah meningkatnya wewenang TNI dalam ranah sipil, yang dikhawatirkan bisa menghidupkan kembali praktik otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru. Reformasi TNI yang selama ini bertujuan untuk menjaga netralitas militer dikhawatirkan akan terkikis, membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, serta mengaburkan batas antara institusi militer dan pemerintahan sipil.
Selain itu, berbagai komentar sarkastik bermunculan di media sosial, menyindir pemborosan anggaran dan ironisnya pembahasan revisi UU TNI di hotel mewah. “Reformasi 1998 bukan untuk kembali ke era dwifungsi,” tulis salah satu netizen, mencerminkan kekecewaan publik terhadap keputusan ini.
Meskipun telah disahkan, tekanan publik yang terus meningkat bisa menjadi faktor penentu apakah revisi UU TNI ini akan direvisi kembali atau bahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi.
Para pengamat menilai bahwa pemerintah dan DPR perlu mendengarkan aspirasi rakyat serta memastikan bahwa setiap regulasi yang disahkan benar-benar selaras dengan prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Jika tidak, Indonesia berpotensi menghadapi tantangan baru dalam menjaga keseimbangan antara militer dan demokrasi, yang selama ini telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade reformasi.
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News