Cimahi, NyaringIndonesia.com – Program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah kembali menuai kritik tajam. Bantuan pendidikan yang dirancang untuk membantu mahasiswa dari keluarga kurang mampu justru dinikmati oleh mereka yang hidup dalam kemewahan.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Kasus terbaru yang viral di media sosial menunjukkan seorang penerima KIP Kuliah ternyata anak anggota DPR. Dalam unggahannya, mahasiswa tersebut kerap memamerkan gaya hidup glamor berlibur ke luar negeri, nongkrong di kafe mahal, dan menggunakan gadget terbaru. Ironisnya, biaya kuliahnya dibiayai negara.
Kisah ini memunculkan pertanyaan besar mengenai validitas sistem seleksi penerima KIP Kuliah. Apakah proses verifikasi benar-benar dijalankan dengan ketat? Ataukah ada celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu?
Ririn, seorang mahasiswi dari Garut, menjadi salah satu contoh korban ketimpangan sistem ini. Meski berasal dari keluarga petani dengan penghasilan pas-pasan, ia dua kali gagal mendapatkan bantuan KIP Kuliah.
“Pendapatan orang tua saya cuma cukup untuk makan dan bayar listrik. Tapi katanya, kami tidak layak,” ungkapnya, dikutip dari Kumparan.com.
Menurut laman resmi Kemendikbudristek, syarat penerima KIP Kuliah meliputi:
- Berasal dari keluarga miskin atau rentan miskin.
- Terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
- Lolos asesmen kelayakan dari kampus.
Namun, dalam pelaksanaannya, banyak kampus hanya melakukan seleksi administratif tanpa verifikasi lapangan yang memadai. Akibatnya, bantuan pendidikan kerap salah sasaran.
Para pemerhati pendidikan menilai bahwa akar masalah bukan pada programnya, melainkan pada pelaksanaan dan pengawasan yang longgar. Diperlukan evaluasi menyeluruh agar KIP Kuliah tepat sasaran.
Beberapa solusi yang diusulkan antara lain:
- Verifikasi langsung ke rumah calon penerima (home visit).
- Transparansi data penerima bantuan.
- Penerapan sanksi tegas bagi penyalahgunaan program.
Masalahnya bukan siapa yang dapat bantuan, tetapi siapa yang lebih berhak. Jika tidak segera dibenahi, program yang seharusnya menjembatani kesenjangan justru memperlebar ketimpangan.
Pendidikan semestinya menjadi hak semua warga, terutama mereka yang terpinggirkan. Saat anak pejabat mendapat prioritas, sementara anak petani tersingkir, keadilan sosial menjadi sekadar jargon.
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News