BANDUNG BARAT – Acara rasa syukur yang di gelar ribuan orang penghayat dan masyarakat adat di kawasan Gunung Tangkuban Parahu, Kabupaten Bandung Barat, pada Minggu (23/06), merupakan perwujudan komitmen masyarakat adat dalam merawat dan menghormati gunung sebagai kabuyutan, tempat suci yang diwariskan dari leluhur.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Ketua Pelaksana Upacara, Sofian, menjelaskan bahwa upacara Ngertakeun Bumi Lamba biasanya diadakan setiap tahun pada minggu pertama saat matahari berada di sisi paling utara bumi, tepatnya di bulan Juni.
“Gunung adalah kabuyutan yang harus dijaga kesuciannya. Ini adalah yang ke-16 kalinya, upacara yang diamanatkan oleh kokolot dari Kenekes Baduy,” kata Sofian pada Selasa (25/6).
Tiga gunung utama yang dipilih sebagai tempat upacara ini adalah Gunung Gede Pangrango, Gunung Wayang, dan Gunung Tangkuban Parahu. Ketiganya dinilai sebagai urat kehidupan bagi masyarakat.
“Gunung Tangkuban Parahu, khususnya, dianggap sebagai pusat Gunung Sunda Purba dan disebut sebagai mandala dan leuweung larangan dalam prasasti Kabantenan,” terangnya.
Ritus tahunan ini merupakan pembaruan dari upacara lama yang dikenal sebagai “Kuwera Bhakti Dharma Wisundarah,” yang dulu diselenggarakan setiap delapan tahun oleh “nagara”. Tema tahun ini adalah “Kuera Bhakti Jala SuTrah Nusantara,” menandai penghujung windu kedua usia perjuangan Ngertakeun Bumi Lamba.
Upacara ini terlaksana atas kolaborasi berbagai komunitas adat dan lintas pihak lainnya, seperti Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, Pijar Menempa Indonesia, dan ISI Surakarta, menjadikan upacara ini semakin bermakna.
“Semesta bukan sekedar tempat hidup tapi penopang hidup bagi manusia, maka untuk merawat itu perlu kebersamaan agar semesta terjaga dan lestari,” tutup Sofian.
Jaro Canoli dalam upacara ini, Mang Wenda, menyebut acara dimulai dengan kirab sajen, di mana berbagai hasil bumi seperti buah-buahan, sayur, dan bunga dibawa oleh para peserta.
“Kita bukan sedang membuang makanan atau melempar sampah, tapi ngalungkeun atau memberi kalung kepada buyut. Nganuhunkeun, berterima kasih, sebab apa yang kita makan ini memang berasal dari buyut,” kata Mang Wenda.
Pada puncak acara, hasil bumi yang telah dikirab ditempatkan di tepi kawah Gunung Tangkuban Parahu.
“Sebagai orang gunung kita berterima kasih dengan cara ngalung, sebagaimana orang pinggiran sungai maupun laut yang berterima kasih dengan melarung,” terangnya. Setelah hening sejenak, hasil bumi tersebut dilemparkan ke kawah sebagai simbol pengembalian karunia alam kepada tempat asalnya.
“Mari kita lepaskan, juga melepaskan keburukan agar mendapat kebaikan,” imbuh Mang Wenda.
Selain upacara, kegiatan ini juga mencakup penempaan Pataka Nusantara (simbol agung kerajaan) yang menjadi bagian penting dari upacara tahun ini. Proses penempaan awal pataka dilakukan sebagai bagian dari rangkaian acara.
“Ini proses awal ibarat peletakan batu pertama. Pataka ini akan selesai pada 28 Oktober mendatang dan akan diserahkan kepada negara,” tutup Taufik Aditya Utama dari Pijar Menempa Indonesia.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di Gunung Tangkuban Parahu menjadi momen sakral yang tidak hanya menguatkan identitas budaya, tetapi juga menyatukan berbagai komunitas adat dalam menjaga dan merawat alam untuk generasi mendatang.