NyaringIndonesia.com – Sebuah video razia rumah makan Padang di Cirebon, Jawa Barat, beredar luas di media sosial, memicu kontroversi dan perdebatan publik.
Dalam video tersebut, terlihat sekelompok orang yang diduga merupakan anggota dari Perhimpunan Rumah Makan Padang Cirebon (PRMPC) merazia sebuah rumah makan Padang yang tidak dimiliki oleh orang keturunan Minangkabau.
Dalam video berdurasi 38 detik yang diunggah akun X bernama @Jominangg pada Selasa (29/10), tampak tiga orang berdiri di depan rumah makan Padang yang menjadi target razia.
Salah satu di antaranya terlihat tengah mencopot tulisan “masakan Padang” yang tertempel di kaca depan rumah makan tersebut.
Pria yang mencopot tulisan itu mengenakan kaus dengan tulisan “PRMPC” di bagian belakang, yang diduga merupakan akronim dari organisasi masyarakat tersebut.
Isu ini menjadi sorotan publik, terutama di media sosial X dan Facebook. Banyak pengguna yang menyoroti aksi ini sebagai bentuk diskriminasi terhadap pedagang yang bukan berasal dari etnis Minang.
Beberapa spekulasi menyebut bahwa alasan razia ini didasari pada fakta bahwa pemilik rumah makan bukan berasal dari Minangkabau atau Padang.
Di sisi lain, sejumlah komentar mempertanyakan legalitas tindakan ini, terutama apakah PRMPC memang memiliki wewenang untuk merazia usaha milik orang lain hanya karena alasan etnisitas.
Menurut informasi yang beredar, PRMPC melakukan penertiban terhadap rumah makan tersebut karena pemiliknya tidak berasal dari Padang.
Aksi ini dilaporkan tidak hanya mencopot label “masakan Padang”, tetapi juga menyoal harga paket murah yang ditawarkan oleh rumah makan itu. Menurut sejumlah pengguna media sosial, rumah makan ini menawarkan paket nasi Padang seharga 10 ribu rupiah, yang dianggap terlalu murah dan dapat merusak pasar harga makanan khas Minang di kawasan Cirebon.
Beberapa anggota PRMPC merasa hal ini dapat mengurangi nilai dan identitas budaya kuliner Minang yang mereka coba pertahankan.
Tanggapan dari Masyarakat dan Pengamat
Kontroversi ini mengundang berbagai tanggapan dari masyarakat. Beberapa orang merasa tindakan PRMPC terlalu berlebihan, bahkan dianggap sebagai bentuk monopoli atau pembatasan yang tidak sehat dalam berbisnis.
“Semua orang berhak menjual nasi Padang, tak peduli mereka berasal dari mana,” tulis akun pengguna X.
“Tindakan ini tidak hanya mencoreng citra rumah makan Padang, tetapi juga menimbulkan kesan eksklusivitas yang tidak sesuai dengan semangat keanekaragaman di Indonesia,” tambahnya.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa razia ini merupakan langkah PRMPC untuk menjaga kualitas dan harga jual makanan khas Minang di Cirebon.
Beberapa pelaku usaha dari kalangan keturunan Minangkabau menyatakan bahwa keberadaan rumah makan Padang dengan harga yang terlalu murah dapat berdampak negatif pada usaha mereka, khususnya terkait standar kualitas bahan dan cita rasa asli yang mereka tawarkan.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Andi Suryadi, dalam tanggapannya menyebutkan bahwa fenomena ini mencerminkan pergesekan antara bisnis dan identitas budaya.
“Ini bukan sekadar tentang penjualan makanan, tetapi juga mencakup bagaimana komunitas tertentu ingin menjaga otentisitas budayanya,” jelas Andi.
“Namun, jika cara mempertahankannya dengan melarang pihak luar menggunakan nama ‘masakan Padang’, ini bisa dianggap sebagai langkah diskriminatif yang kurang bijak dalam konteks masyarakat yang plural.”
Perdebatan Harga dan Identitas Budaya
Dalam konteks bisnis, persaingan harga merupakan hal yang wajar. Namun, kasus ini mengangkat isu mengenai nilai harga dan identitas dalam bisnis kuliner. Rumah makan Padang dikenal dengan harga yang lebih tinggi, sebanding dengan kualitas rasa dan bahan yang digunakan.
Namun, ketika ada pelaku usaha yang menawarkan harga lebih rendah, pihak PRMPC merasa terganggu, khawatir bahwa langkah ini dapat menurunkan harga pasar dan mengikis kualitas dari makanan khas tersebut.
Kontroversi mengenai label “masakan Padang” juga menjadi sorotan. Meskipun masakan Padang adalah kuliner khas Sumatra Barat, banyak orang di luar Padang, termasuk dari suku bangsa lain, membuka rumah makan Padang dan mengadopsi cita rasanya yang telah diterima luas oleh masyarakat Indonesia.
Beberapa pihak menilai bahwa tindakan membatasi penggunaan label “masakan Padang” hanya untuk etnis Minang adalah langkah yang tidak tepat, mengingat masakan tersebut telah menjadi bagian dari kuliner nasional.
Kesimpulan
Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan antara upaya menjaga identitas budaya dan hak individu dalam menjalankan usaha. Menurut pengamat hukum bisnis, tindakan seperti razia ini berpotensi melanggar hak usaha jika tidak didasari peraturan yang sah.
“Tindakan ormas tanpa dasar hukum yang kuat dapat digolongkan sebagai intimidasi dan pelanggaran terhadap hak berusaha,” ungkapnya.
Pihak berwenang diharapkan segera memberikan penjelasan terkait aturan yang jelas mengenai penggunaan label “masakan Padang” agar kejadian serupa tidak terjadi kembali.
Masyarakat juga diimbau untuk lebih menghargai keanekaragaman, termasuk dalam dunia kuliner, sebagai bagian dari budaya yang mempersatukan bangsa.
Disclaimer: Konten ini bertujuan memperkaya sumber informasi pembaca.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News