Sejarah Pengawasan Pemilu di Indonesia, Dari Masa Orde Lama hingga Perkembangannya

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Pemilu di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dalam hal pengawasan, baik dalam model maupun lembaga yang ditunjuk untuk menjalankan tugas tersebut.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Di beberapa negara, pengawasan Pemilu dikelola oleh lembaga negara seperti Kementerian Hukum, Kehakiman, dan Kejaksaan.

Ada pula negara yang mengintegrasikan fungsi pengawasan langsung dengan tugas penyelenggaraan Pemilu. Selain lembaga negara, partisipasi masyarakat juga memegang peranan penting dalam memastikan pemilu berjalan secara adil dan transparan.

Indonesia, sebagai negara dengan lembaga formal pengawasan Pemilu, memiliki sejarah panjang dalam pembentukan dan perkembangan lembaga ini.

Sebelum ada lembaga pengawasan yang khusus, Indonesia pada awalnya tidak memiliki lembaga yang secara langsung mengawasi jalannya Pemilu. Pertanyaannya, bagaimana sejarah pengawasan Pemilu dan proses pembentukan lembaga pengawas Pemilu di Indonesia?

Pemilu pertama di Indonesia diselenggarakan pada tahun 1955, sepuluh tahun setelah kemerdekaan. Pada masa Orde Lama, pelaksanaan Pemilu berdasarkan pada UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang diperkuat dengan PP Nomor 9 Tahun 1954 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Pada masa ini, Pemilu dikelola oleh Badan Penyelenggara Pemilihan. Di tingkat pusat, ada Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang ditunjuk langsung oleh Presiden. Sementara di daerah, anggota PPI dipilih oleh Menteri Kehakiman melalui Panitia Pemilihan yang ada di setiap daerah pemilihan.

Setiap daerah pemilihan memiliki Panitia Pemilihan Kabupaten yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri. Di tingkat kecamatan, dibentuk Panitia Pemungutan Suara yang diketuai oleh Camat, dan di tingkat desa, Panitia Pendaftaran Pemilih dipimpin oleh Kepala Desa. Proses ini diatur dalam UU No. 7 Tahun 1953, Pasal 17 Bab IV (Ahmad Jukari, 2021).

Namun, meski terdapat pengaturan yang cukup rinci mengenai penyelenggaraan Pemilu, UU No. 7 Tahun 1953 dan PP Nomor 9 Tahun 1954 tidak secara spesifik menyebutkan lembaga pengawas Pemilu. Jika ada keberatan dalam proses Pemilu, hal tersebut langsung disampaikan kepada penyelenggara Pemilu dan diselesaikan oleh mereka.

Keberatan bisa berupa masalah dalam pencalonan, pemungutan suara, atau pembagian kursi, yang kemudian diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Keberatan terkait pencalonan, misalnya, diatur dalam Pasal 59 dan 60 UU No. 7 Tahun 1953.

Keberatan yang muncul dalam proses pemungutan suara dicatat dalam “surat catatan” yang ditandatangani oleh semua anggota Penyelenggara Pemungutan Suara yang hadir. Surat tersebut kemudian diserahkan oleh Ketua Penyelenggara Pemungutan Suara kepada Ketua Panitia Pemungutan Suara.

Panitia Pemilihan berwenang memeriksa dan menyelidiki keberatan-keberatan tersebut, dan hasil pemeriksaan ini bisa menjadi dasar bagi Panitia Pemilihan untuk memerintahkan Panitia Pemungutan Suara untuk melaksanakan pemungutan suara ulang.

Jukari mencatat bahwa dalam UU No. 7 Tahun 1953 tidak ada penyebutan eksplisit tentang panitia pengawas Pemilu, yang berarti pada masa itu, Panitia Pemilu juga berfungsi sebagai pengawas untuk memastikan jalannya Pemilu sesuai dengan aturan yang ada.

Berita Utama