Serangan Ransomware: Fenomena Keunggulan IQ Tanpa EQ dan SQ

Ilustrasi serangan Ransomware Lockbit 3.0
Ilustrasi serangan Ransomware Lockbit 3.0

Nyaringindonesia.com – Di berbagai belahan dunia, isu ransomware dan kasus peretasan data pribadi terus menjadi sorotan utama. Salah satu yang paling meresahkan adalah serangan Ransomware Lockbit 3.0, di mana pelakunya meminta tebusan sebesar Rp 131 miliar.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Serangan semacam ini mengungkap betapa cerdasnya para pelaku dari sisi intelektual, tetapi juga menunjukkan kekurangan mereka dalam kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Pelaku serangan ransomware mungkin memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, tetapi mereka jelas kurang memiliki empati dan hati nurani.

Mereka tidak merasakan betapa sulitnya mencari uang sebanyak itu dan tidak mendengar kebenaran dalam jiwa mereka.

Hal ini mencerminkan pendidikan yang hanya melahirkan orang-orang berotak cerdas, tetapi tanpa kepekaan emosional dan moral.

Tantangan di Masa Depan

Tahun ini baru 2024, namun jika tren ini berlanjut, bagaimana 10-20 tahun mendatang? Apakah pendidikan hanya akan menghasilkan individu yang mampu menciptakan malware dan ransomware untuk memeras orang lain? Ini adalah pertanyaan serius yang harus dijawab oleh sistem pendidikan dan masyarakat kita.

Pentingnya Integritas

Mengutip Warren Buffet, “Untuk mendapatkan SDM terbaik, temukan tiga kualitas dalam dirinya: INTEGRITAS, KECERDASAN, dan ENERGI. Namun, jika yang pertama tidak Anda temukan dalam diri mereka, maka yang kedua dan ketiga akan membunuh Anda.” Ini adalah pelajaran penting bahwa kecerdasan saja tidak cukup tanpa adanya integritas dan moralitas.

Praktik Terbaik dalam Menghadapi Ransomware

Dari beberapa sumber tentang pengalaman dan berdasarkan praktik terbaik di industri, backup data harus dilakukan baik di sisi pengguna maupun di pusat data (data center).

Backup harus dilakukan secara onsite dan offsite untuk menghindari kehilangan data yang kritis. Jangan hanya menyimpan backup di data center yang sama, terutama jika server yang digunakan berada di hypervisor yang sama.

Belajar dari kasus ransomware sebelumnya yang menyerang Indonesia seperti Conti, The Hive, dan l, ransomware semakin canggih.

Mereka biasanya melakukan “data exfiltration“, yakni mengeluarkan data secara perlahan dan menampungnya di tempat tertentu, serta mengenkripsi data pada drive lokal.

Jika tebusan tidak dibayar, data yang sudah dicuri akan disebarluaskan, sedangkan data yang sudah terenkripsi tidak bisa diakses lagi karena kunci deskripsinya hanya dipegang oleh peretas.

Platform OS Tidak Menjamin Keamanan

Tidak masalah apakah Anda menggunakan OS Windows atau Linux. Sebagai contoh, pada kasus ransomware “WannaCry“, semua data akan dienkripsi karena ransomware jenis ini memanfaatkan protokol SMB (Windows) dan Samba (Linux) untuk melakukan scanning pada semua media penyimpanan yang berbagi data.

Edukasi dan Kesadaran Pengguna

Ransomware dan malware pada umumnya memanfaatkan kelengahan pengguna, biasanya melalui serangan phishing yang menargetkan pengguna. Sebagian besar pusat data sudah terproteksi dengan baik, tetapi kesadaran pengguna masih perlu ditingkatkan.

Pelatihan dan pendidikan pengguna untuk selalu melakukan backup data sangat penting. Jangan hanya melatih mereka sebagai “hacker” atau “pentester” tanpa memberikan pemahaman tentang “defensive security“.

Serangan ransomware adalah ancaman nyata yang memerlukan pendekatan komprehensif untuk mengatasinya.

Ini bukan hanya tentang teknologi dan intelektual, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan moralitas.

Pendidikan yang seimbang antara IQ, EQ, dan SQ sangat penting untuk memastikan bahwa generasi mendatang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki empati dan hati nurani yang kuat.

Follow Berita Nyaringindonesia di Google News

Berita Utama