Jakarta. NyaringIndonesia.com — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa kebijakan perpajakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tetap mengedepankan asas keadilan, khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pernyataan ini disampaikan di tengah meningkatnya target pendapatan negara yang dipatok mencapai Rp3.147,7 triliun, naik 9,8% dari outlook APBN 2025 sebesar Rp2.865,5 triliun.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurut Sri Mulyani, peningkatan target tersebut tidak dilakukan melalui penambahan tarif atau jenis pajak baru. Ia mencontohkan dukungan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), antara lain dengan mempertahankan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan di angka 22%.
“Ini adalah bentuk keberpihakan terhadap UMKM,” ujar Sri Mulyani.
Lebih lanjut, pemerintah juga memberikan pembebasan sejumlah pajak untuk sektor strategis, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk jasa kesehatan dan pendidikan, serta pembebasan PPh bagi individu dengan penghasilan di bawah Rp60 juta per tahun.
Ia menegaskan bahwa prinsip keberimbangan antara optimalisasi penerimaan negara dan perlindungan terhadap kelompok rentan tetap menjadi landasan utama dalam pengelolaan fiskal ke depan.
“Ini menunjukkan bahwa pendapatan negara dikelola secara hati-hati, namun semangat gotong royong dan keberpihakan kepada masyarakat lemah tetap diutamakan,” jelasnya.
Di sisi lain, kritik keras terhadap kebijakan fiskal disuarakan oleh kalangan akademisi. Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, menyebut bahwa legitimasi fiskal pemerintah saat ini berada dalam kondisi rawan. Ia menilai terdapat kontradiksi antara permintaan pemerintah agar rakyat taat membayar pajak dengan perilaku birokrasi yang dinilai boros dan tidak efisien.
“Rakyat diminta membayar pajak dan iuran dengan dalih efisiensi, namun di saat yang sama pemerintah justru menambah jumlah kementerian/lembaga, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan pejabat serta anggota DPR,” kata Deni dalam media briefing CSIS, Selasa (2/9/2025).
Ia menilai, gelombang protes yang terjadi belakangan ini merupakan respons atas ketimpangan sosial yang kian mencolok. Beban ekonomi yang semakin berat juga membuat masyarakat lebih sensitif terhadap setiap kebijakan fiskal, termasuk potensi kenaikan pajak sekecil apa pun.
“Rasa keadilan publik makin tergerus. Contohnya, harga beras tembus Rp16.000 per kilogram, sementara pendapatan masyarakat stagnan. Situasi ini sangat menyesakkan,” tambahnya.
CSIS mencatat, meski pertumbuhan ekonomi nasional tetap stabil di kisaran 5%, distribusinya belum merata. Ketimpangan masih tinggi dengan indeks gini sebesar 0,39. Sebanyak 60% tenaga kerja masih bergantung pada sektor informal, sementara kelas menengah kian terhimpit oleh inflasi dan lonjakan biaya hidup.
Sebagai solusi, CSIS mendorong pemerintah untuk segera mereformasi tata kelola fiskal. Langkah konkret yang disarankan antara lain penghentian pemborosan anggaran, penghapusan privilese untuk elite politik dan ekonomi, serta penguatan akuntabilitas dan transparansi belanja negara.
“Jika akar masalah ini terus diabaikan, risiko krisis ekonomi, delegitimasi negara, dan degradasi demokrasi akan semakin besar,” tegas Deni.
Ia mengingatkan, krisis multidimensi yang melanda Indonesia pada 1997–1998 tidak lepas dari kombinasi ketimpangan, tekanan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum.
“Sejarah telah mengajarkan, jika ketimpangan dibiarkan dan kepercayaan publik terus merosot, maka krisis besar hanya tinggal menunggu waktu,” pungkasnya.