Cimahi, NyaringIndonesia.com – Kota Cimahi kembali menjadi sorotan nasional usai lonjakan angka stunting tercatat signifikan dalam setahun terakhir. Dalam data terbaru Survey Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 dari Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting di kota ini mencapai 22,3 persen, menjadikannya sebagai daerah dengan kasus tertinggi kedua di Jawa Barat.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun 2023 yang hanya sebesar 9,56 persen atau sekitar 2.810 kasus. Artinya, hampir 1 dari 4 anak di Cimahi kini mengalami gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis.
Pemerintah Kota Cimahi mengakui bahwa persoalan stunting kini telah berkembang menjadi krisis serius. Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, menilai stunting bukan hanya soal asupan makanan, melainkan mencerminkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
“Pembangunan keluarga yang sehat dan berkualitas adalah fondasi dari pembangunan bangsa. Kita tidak bisa bicara masa depan jika generasi mudanya tumbuh dalam kondisi tidak sehat,” kata Ngatiyana, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, upaya penurunan stunting memerlukan pendekatan holistik yang mencakup perbaikan sanitasi, pemberdayaan ekonomi keluarga, hingga edukasi pola asuh dan konsumsi makanan bergizi.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Kesehatan Cimahi, dr. Mulyati, menyebutkan bahwa Cimahi sebagai kota urban dengan mobilitas tinggi mengalami “banjir penduduk”, terutama dari keluarga muda yang menetap tanpa fasilitas sanitasi memadai.
“Mereka otomatis masuk dalam populasi Cimahi. Banyak anak-anak pendatang yang sudah mengalami stunting sebelum pindah ke sini, dan mereka menambah jumlah kasus yang kita miliki,” jelasnya.
Mulyati membeberkan bahwa akar dari ledakan stunting di Cimahi bukan hanya urbanisasi, tapi sanitasi buruk, kurangnya edukasi gizi, rendahnya pemberian ASI eksklusif, hingga akses pangan yang terbatas akibat masalah ekonomi.
“Banyak orang tua hanya memberi makanan yang mengenyangkan, bukan yang bergizi. Akhirnya, anak-anak kekurangan protein, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan untuk tumbuh optimal,” ujarnya.
Tak hanya itu, pemantauan tumbuh kembang anak masih minim di berbagai wilayah, ditambah dengan rendahnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya cek kesehatan berkala di posyandu atau puskesmas.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Cimahi, Fitriani Manan, menyoroti pentingnya melihat keluarga berisiko stunting, yakni rumah tangga dengan bayi atau balita yang hidup dalam kondisi miskin dan sanitasi buruk.
“Meskipun anaknya belum mengalami stunting, tapi jika tinggal di rumah tanpa septic tank, tidak punya akses air bersih, dan gizinya tidak cukup, maka risiko sangat besar,” ujarnya.
Fitriani juga menjelaskan bahwa penurunan stunting tidak bisa dibebankan pada satu dinas saja. Harus ada kolaborasi lintas sektor, termasuk pelibatan masyarakat, organisasi lokal, hingga edukasi berkelanjutan dari hulu ke hilir — mulai dari calon pengantin hingga bayi usia dua tahun.
Salah satu akar masalah paling genting adalah buruknya sistem pengelolaan limbah domestik di Cimahi. Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP), Endang, mengungkap bahwa hingga tahun 2025, sebanyak 20.548 rumah dari total 122.307 rumah di Cimahi masih belum memiliki septic tank.
“Sebagian besar warga membuang limbah ke sungai atau meresapkannya ke tanah. Ini sangat berbahaya karena menyebarkan bakteri seperti E.coli, yang bisa menyebabkan diare kronis dan memperparah kondisi gizi anak,” jelas Endang.
Lebih memprihatinkan, sebagian warga menolak pembangunan septic tank dengan alasan keterbatasan lahan dan kekhawatiran pencemaran sumur.
Sebagai solusi, DPKP kini mengembangkan septic tank modern berbahan fiber yang lebih praktis, tahan bocor, dan dapat dipasang di area sempit seperti teras atau dapur.
“Ini septic tank pabrikan, bukan beton konvensional. Pemasangannya lebih cepat dan cocok untuk permukiman padat,” tambahnya.
Meningkatnya angka stunting menjadi alarm keras bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan di Cimahi. Pendekatan reaktif dinilai tak lagi cukup. Dibutuhkan komitmen jangka panjang, edukasi berkelanjutan, serta pemenuhan infrastruktur dasar untuk menekan potensi krisis generasi di masa depan.
Wali Kota Cimahi menyatakan, program seperti Kampung Keluarga Berkualitas dan intervensi seribu hari pertama kehidupan (HPK) akan terus diperkuat. Namun, tanpa dukungan masyarakat, capaian penurunan stunting sulit terwujud.
“Semua dimulai dari keluarga. Mulai dari rumah sendiri, kita bisa cegah stunting,” pungkas Ngatiyana.
FAKTA STUNTING DI CIMAHI:
- Prevalensi Stunting (2024): 22,3% (tertinggi kedua di Jawa Barat)
- Prevalensi Stunting (2023): 9,56%
- Jumlah rumah tanpa septic tank: 20.548 unit
- Penyebab utama: Sanitasi buruk, urbanisasi, gizi tidak seimbang, minim edukasi
- Keluarga berisiko stunting: Calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, bayi 0-2 tahun, keluarga miskin tanpa sanitasi layak
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News