Taklid Akidah Dilarang oleh Mayoritas Ulama, Berikut Penjelasannya

Foto ilustrasi Taklid Akidah Dilarang oleh Mayoritas Ulama

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Taklid adalah tindakan mengikuti pendapat atau keputusan seseorang tanpa memeriksa langsung dasar hukumnya. Dalam perspektif Islam, taklid sering kali berhubungan dengan penerimaan pendapat ulama atau mujtahid tanpa mengeksplorasi sumber-sumber dan dalil hukum yang mendasarinya.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Taklid ini memunculkan perdebatan di kalangan para ulama dan cendekiawan Muslim, khususnya terkait dengan apakah tindakan tersebut sah atau tidak dalam berbagai dimensi agama, terutama dalam masalah akidah dan fiqih.

Dalam soal akidah, mayoritas ulama sepakat bahwa taklid adalah hal yang tidak dibenarkan. Ini karena dalam memahami dasar-dasar ajaran agama, setiap individu diwajibkan untuk mencari ilmu, merenung, dan berusaha untuk memahami kebenaran dengan memeriksa dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadis. Islam menuntut setiap orang untuk beriman dengan keyakinan yang kokoh dan bukan hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa pengetahuan yang jelas.

Taklid dalam akidah dianggap dapat mengarah pada penyelewengan atau kesesatan karena seseorang dapat dengan mudah tersesat jika mengikuti ajaran atau pemahaman yang salah tanpa verifikasi. Oleh karena itu, dalam akidah, setiap umat Islam diminta untuk membangun keyakinan berdasarkan pemahaman pribadi terhadap teks-teks suci, bukan sekadar mengikuti pendapat orang lain.

Namun, dalam bidang fiqih atau hukum syariat, perdebatan mengenai taklid menjadi lebih kompleks. Sebagian ulama mengizinkan taklid dengan syarat bahwa orang yang bertaklid mengikuti pendapat seorang ulama yang memiliki dasar yang kuat dan sah secara hukum. Dalam hal ini, taklid yang diperbolehkan bukanlah taklid buta, melainkan mengikuti pendapat yang sudah teruji kebenarannya dan dapat dipertanggungjawabkan, misalnya dalam masalah ibadah atau hukum keluarga.

Salah satu contoh praktik taklid yang diperbolehkan adalah mengikuti salah satu mazhab fiqih, seperti mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, atau Hanbali. Pengikut mazhab ini diyakini mengikuti pendapat-pendapat yang telah diperiksa dengan cermat dan memiliki dasar yang sah dalam ajaran Islam.

Namun, ulama juga menekankan pentingnya agar setiap Muslim memahami alasan atau dasar hukum dari pendapat yang mereka ikuti. Taklid yang dilakukan tanpa memahami dasar hukumnya, atau yang lebih dikenal sebagai taklid buta, dianggap tidak dibenarkan. Taklid buta ini dapat menyebabkan umat Islam melakukan ibadah atau tindakan hukum yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang benar.

Beberapa organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, secara tegas menentang praktik taklid buta. Muhammadiyah menekankan pentingnya pengetahuan dan pemahaman dalam memilih pandangan dan keputusan agama. Mereka berpendapat bahwa umat Islam harus mampu memverifikasi dan memahami dalil-dalil agama dengan kemampuan mereka sendiri, bukan sekadar mengikuti pendapat tanpa dasar yang jelas.

Sementara itu, di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), ada pendekatan yang lebih moderat namun tetap berhati-hati terhadap taklid. NU mengembangkan konsep “taklid manhaji,” yaitu mengikuti pendapat ulama tertentu berdasarkan metode atau kaidah-kaidah fiqih yang sudah disepakati. Taklid manhaji ini mendorong pengikutnya untuk mengikuti ajaran Islam yang sudah mapan, namun tetap dengan pengetahuan dan pengertian yang mendalam mengenai dasar-dasar hukum yang diikuti.

Penting untuk membedakan antara taklid yang dibolehkan dan taklid buta. Taklid yang dibolehkan adalah mengikuti pendapat seorang ulama yang memiliki dasar hukum yang kuat dan sah, yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara itu, taklid buta adalah mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasan atau dasar hukumnya. Taklid buta ini, selain dapat menyesatkan, juga dapat merugikan pemahaman agama seseorang karena tidak melalui proses pencarian dan pemahaman yang mendalam.

Sebagai contoh, dalam masalah fiqih, seorang Muslim mungkin mengikuti pendapat mazhab Syafi’i mengenai tata cara shalat. Namun, ini bukan taklid buta, karena Syafi’i adalah seorang ulama besar yang menjelaskan dasar-dasar pendapatnya melalui kajian yang sangat mendalam. Sebaliknya, jika seseorang mengikuti pendapat tanpa mengetahui mengapa dan bagaimana hukum itu ditentukan, maka hal itu bisa masuk dalam kategori taklid buta.

Taklid buta dapat menimbulkan dampak negatif baik secara sosial maupun spiritual. Dari sisi spiritual, mengikuti pendapat tanpa memahami alasannya bisa menghalangi seseorang untuk mengembangkan pemahaman agama yang benar. Hal ini dapat menyebabkan kebingungannya dalam menghadapi persoalan agama yang lebih kompleks.

Secara sosial, taklid buta bisa memperburuk polarisasi dalam masyarakat. Ketika seseorang atau kelompok mengikuti pendapat tertentu tanpa dasar yang kuat, hal itu dapat memicu ketegangan dan konflik antar kelompok yang berbeda. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk selalu mencari pemahaman yang lebih dalam mengenai agama dan bertanya kepada para ulama yang kompeten jika ada hal-hal yang belum dipahami.

Taklid dalam Islam, baik dalam masalah akidah maupun fiqih, perlu dilakukan dengan pemahaman yang matang. Taklid yang dibolehkan adalah mengikuti pendapat ulama yang memiliki dasar hukum yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Taklid buta, yang mengarah pada mengikuti pendapat tanpa mengetahui dasarnya, sangat berisiko dan dapat menyesatkan.

Masyarakat Muslim perlu diberdayakan untuk memiliki pengetahuan yang cukup tentang agama dan terus belajar untuk memperkuat pemahaman mereka. Dengan demikian, mereka bisa menghindari taklid buta dan menjalani kehidupan agama yang lebih benar dan lebih berarti.

 

==============

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama