NyaringIndonesia.com – Wiyata Mandala Satria Praja adalah program pendidikan kepemimpinan yang mengedepankan kearifan lokal dengan penguatan berkebangsaan dalam silabus pembelajarannya.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Latar belakang dari program pendidikannya adalah dalam rangka mewujudkan salah satu dari Tri Sakti Bung Karno, yaitu “Berkepribadian dalam berkebudayaan”.
Tersinyalir, kebudayaan bangsa Indonesia yang “katanya” adi luhung yang dimiliki bangsa Indonesia, ternyata hingga saat ini masih sebatas wacana dan semakin mendekati jurang degradasi. Degradasi kebudayaan telah menjadikan Indonesia nyaris kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar.
Bisa kita amati, bahwa kebudayaan kita semakin hari terus terkikis dan termarjinalkan. Mungkin, sangatlah pantas bila kita katakan bahwa di Indonesia telah terjadi “genosida” kebudayaan. Terlebih, ketika kebudayaan-kebudayaan asing menjadi bersifat “invasive” di tanah air ini.
Artikulasi dan pemaknaan dari diksi budaya dan kebudayaan di Indonesia, saat ini hanya tervisualisasikan pada lingkup kecil pada sendi kehidupan rakyat Indonesia. Seiring berjalannya waktu, kaum muda bangsa kita bangga bila telah menerapkan budaya asing dalam setiap jengkal tanah kelahirannya.
Padahal, keadiluhungan kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia sejatinya harus diterapkan pada setiap sendi kehidupan. Termasuk dalam hal “religiusitas” spiritual hingga pada tata kelola negara maupun pemerintahan sampai pada penerapan dalam manajeman keorganisasian lainnya.
Salah satu upaya merekontruksi serta rekonsiliasi kebudayaan lokal, Wiyata Mandala Satria Praja yang merupakan salah satu program pendidikan kepemimpinan yang tengah digulirkan oleh Pusat Studi Budaya & Sejarah “Sanghyang Hawu”. Program ini digulirkan guna memperkenalkan kembali luhurnya pola dan konsep pendidikan kepemimpinan berbasis kearifan lokal bangsa Indonesia.
Kita, sebenarnya sejak dulu telah memiliki pola pendidikan kepemimpinan yang lebih hebat dari sekedar istilah bergengsi “Coaching”, “Mentoring”, “Behavior Model”, “Traits Model”, “Contingency Model” dan banyak lagi istilah-istilah lainnya sebagai teori kepemimpinan modern.
Istilah-istilah tersebut baru kita kenal tidak lebih dari beberapa dekade lalu. Namun, kita akan ternyak dna terhentak bila kita menyadari, ternyata di era kebangkitan bangsa, Ki Hajar Dewantara telah mendengungkan falsafah yang jauh lebih keren, yaitu “Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”.
Bahkan ada yang lebih dahsyat lagi, ternyata dalam kehidupan masyarakat Sunda dimasa lampau, dalam kitab Sanghyang Siksa Kanda(ng) Karesian salah satunya sudah tercantum apa yang disebut “Dasa Pasanta”. Falsafat tersebut merupakan bagian dari “parigeuing” sebagai gaya kepemimpinan Prabu Siliwangi, “Tri Tangtu” dan banyak lagi.
Indonesia sebenarnya memiliki hal yang lebih hebat dari teori-teori kepemimpinan yang katanya lebih modern karena dicetuskan oleh bangsa-bangsa asing saat ini. Padahal, Keunggulan dan kelebihan falsafah kepemimpinan berbasis kearifan lokal yang diperkenalkan oleh para leluhur kita lebih otentik keistimewaannya, baik dari sisi konsepsi maupun metodiloginya.
Hebatnya lagi, semua masih memiliki relevansi untuk dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masa kini, dan kemungkinan besar masih dapat terterapkan pada masa yang akan datang.
Pendidikan Kepemimpinan berbasis kearifan lokal kebudayaan Indonesia, ternyata penerapannya tidak hanya untuk tatanan kelompok masyarakat kecil semata. Namun ternyata sangat dapat diterapkan dalam tata kelola organisasi yang lebih luas, baik negara, instansi pemerintahan, badan usaha, institusi pendidikan hingga pada tingkat keluarga.
Janganlah berpandangan sempit dan picik, bila kita merawat, memilihara maupun mengembangkan kebudayaan sendiri. Mengagungkan budaya dan kebudayaan sendiri bukan dimaknai dengan ketertinggalan, keterbelakangan atau dianggap menutup diri dari modernisasi, sehingga diartikan menyingkir dari kemajuan jaman.
Namun, dengan kita memajukan kebudayaan sendiri, justru akan lebih mampu berkompetisi dikancah dunia. Justru dapat menjadi senjata untuk “ngigelan” seiring laju perkembangan jaman dengan menunjukan jati diri Bangsa Indonesia.
Sadarkah kita, bila kebudayaan berbasis kearifan lokal bangsa Indonesia sudah terkerdilkan oleh pemikiran dan pilihan rakyatnya sendiri?
Bila sudah menyadari mari kita kaji bersama, sejauh mana penerapan kebudayaan kita dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang kita jalani?
Sudah siapkah kita menjadi bangsa besar yang “berkepribadian dalam berkebudyaaan” nya?
Mari “Back to Culture” mengembangkan Indonesian “Culture” bersama kita hentikan praktek-praktek genosida kebudayaan Indonesia.***
Oleh: Fajar Budhi Wibowo
(Pusat Studi Budaya & Sejarah “Sanghyang Hawu”)