Pemberian Abolisi dan Amnesti dari Presiden Kepada Tom Lembong dan Hasto Jadi Perbincangan

Tom Lembong

Cimahi, NyaringIndonesia.com  – Dua keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto memicu diskusi hangat di tengah masyarakat.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Kebijakan tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang arah dan integritas sistem hukum Indonesia, khususnya dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), amnesti didefinisikan sebagai pengampunan dari kepala negara kepada seseorang atau kelompok atas pelanggaran hukum tertentu, biasanya yang bersifat politis.

Sementara itu, abolisi adalah penghapusan perkara pidana yang juga merupakan hak prerogatif presiden. Meski keduanya sah secara konstitusional, banyak pihak memandang langkah tersebut sebagai preseden yang berpotensi melemahkan prinsip keadilan dan supremasi hukum.

Kasus pertama menyangkut Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, yang terseret dalam perkara impor gula. Meski tidak ditemukan bukti adanya niat jahat maupun indikasi memperkaya diri sendiri, Tom tetap dijerat dalam proses hukum yang panjang dan menyita perhatian publik.

Keputusan Presiden untuk memberikan abolisi kepada Tom dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk koreksi terhadap proses hukum yang dianggap cacat dan tidak adil.

Namun, langkah ini juga menimbulkan pertanyaan: mengapa sistem peradilan tidak mampu mencegah kriminalisasi terhadap individu yang tidak terbukti bersalah? Jika proses hukum berjalan sebagaimana mestinya, bukankah seharusnya abolisi tidak diperlukan?

Di sisi lain, pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto, seorang tokoh politik yang telah dinyatakan bersalah, menambah lapisan kontroversi. Jika kasus Tom mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap pihak yang tidak bersalah, maka kasus Hasto menampilkan sisi lain. Bagaimana pengampunan bisa diberikan meskipun pelanggaran telah terbukti secara hukum.

Kedua keputusan ini menggambarkan wajah ganda dari penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, seseorang yang tak terbukti bersalah tetap dijatuhi hukuman di sisi lain seseorang yang terbukti bersalah justru mendapatkan pengampunan. Kondisi ini menciptakan kebingungan di tengah masyarakat dan memunculkan kekhawatiran bahwa proses hukum kini terlalu bergantung pada keputusan politik, bukan pada prinsip keadilan yang objektif.

Langkah Presiden ini seharusnya tidak menjadi alat koreksi yang terus diulang. Yang perlu dibenahi adalah sistem hukum itu sendiri—mulai dari proses peradilannya hingga kualitas sumber daya manusianya. Kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas aparat penegak hukum perlu diperkuat, agar keadilan tidak harus selalu datang dari intervensi presiden.

Jika Indonesia ingin membangun sistem hukum yang adil dan independen, maka reformasi menyeluruh adalah keniscayaan. Intervensi politik tidak boleh menjadi penentu akhir nasib seseorang di depan hukum. Kita butuh sistem yang mampu menegakkan keadilan sejak awal bukan membenarkannya di akhir. (Tim)

Berita Utama