Mengapa Pertamina Masih Merugi Meski Harga BBM Lebih Mahal dari Malaysia?

RON 95
Mengapa Pertamina Masih Merugi Meski Harga BBM Lebih Mahal dari Malaysia?

Cimahi, NyaringIndonesia.com – Jagat media sosial X tengah ramai memperdebatkan kondisi keuangan PT Pertamina (Persero), yang dikabarkan masih merugi meski menjual bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 92 atau Pertamax seharga Rp13.000 per liter.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Perbandingan pun mengemuka dengan Malaysia, di mana BBM RON 95 dijual jauh lebih murah, yakni sekitar Rp6.700 per liter, namun perusahaan minyak nasionalnya, Petronas, tetap membukukan laba hingga Rp280 triliun.

Dikutip dari akun Instagram Perdana Menteri (PM) Malaysia, Anwar Ibrahim per 30 September 2025, harga BBM RON 95 di Malaysia sebesar RM 1,99 atau sekitar Rp7.840 per liter.

Salah satu unggahan yang ramai diperbincangkan datang dari akun X @buz*******, yang menulis:

“Cowok mikir Indo jual Pertamax Rp13.000 malah rugi Rp5 T, sedangkan Malaysia jual Rp6.700 bisa untung Rp280 triliun.”

Pertanyaannya, mengapa Pertamina tetap merugi padahal menjual BBM dengan harga lebih tinggi dari Petronas di Malaysia?

Alif Hijriah, lulusan Matematika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), membagikan analisis yang viral di akun Instagram @aliftowew. Ia menyoroti faktor mendasar yang menjadi pembeda antara kondisi Indonesia dan Malaysia, keseimbangan antara produksi dan konsumsi BBM.

Menurut Alif, Indonesia sebenarnya memiliki kapasitas produksi minyak yang lebih tinggi dibanding Malaysia:

  • Produksi harian Indonesia (Pertamina): 583.000 barel
  • Produksi harian Malaysia (Petronas): 570.000 barel

Namun, kesenjangan mencolok terjadi di sisi konsumsi:

  • Konsumsi BBM Indonesia: 1,7 juta barel per hari
  • Konsumsi BBM Malaysia: 700.000 barel per hari

Dengan angka tersebut, Indonesia mengalami defisit pasokan sebesar 1,1 juta barel per hari, yang harus ditutupi melalui impor. Sebaliknya, Malaysia hanya kekurangan sekitar 130.000 barel per hari.

“Indonesia mengalami defisit -1,1 juta barel per hari, yang harus ditutup dengan impor. Ini jadi beban besar bagi negara,” ujar Alif, dalam video yang mengizinkan kutipan dari Kompas.com.

Dengan harga minyak dunia saat ini sekitar 85 dolar AS per barel, biaya impor energi pun melonjak drastis:

  • Indonesia: 93,5 juta dolar AS per hari atau setara Rp566 triliun per tahun
  • Malaysia: 11,1 juta dolar AS per hari atau sekitar Rp67 triliun per tahun

Inilah salah satu penyebab utama kerugian Pertamina—meski harga jual BBM tinggi, biaya pengadaan dari impor jauh lebih besar akibat ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi.

Lantas, bagaimana Malaysia tetap untung besar meski menjual BBM lebih murah?

Alif menjelaskan, Petronas diuntungkan oleh pendapatan dari sektor gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Malaysia merupakan salah satu dari lima eksportir LNG terbesar di dunia, dengan pendapatan ekspor mencapai 13,52 miliar dolar AS per tahun.

Dengan beban impor BBM yang hanya sekitar 4,05 miliar dolar AS per tahun, Malaysia masih mencatat surplus sekitar Rp161 triliun.

“Bahkan jika pemerintah Malaysia ingin memberikan BBM gratis kepada rakyatnya, biaya itu masih bisa tertutup oleh surplus dari LNG,” jelas Alif.

Namun, pemerintah Malaysia memilih menyalurkan subsidi energi melalui Petronas agar tetap efisien dan terukur.

Menurut hitung-hitungan Alif, konsumsi harian BBM Malaysia sebesar 700.000 barel (1 barel = 159 liter) dikalikan harga Rp6.700 per liter menghasilkan pendapatan tahunan sekitar Rp272 triliun. Setelah dikurangi beban subsidi dan biaya produksi, keuntungan bersih Petronas diperkirakan mencapai Rp280 triliun.

Sebaliknya, di Indonesia, harga Pertamax Rp13.000 per liter sudah termasuk subsidi, namun kerugian tetap tak terhindarkan. Bahkan, menurut Alif, kerugian Pertamina bisa jauh melebihi angka Rp5 triliun.

“Subsidi energi dari APBN periode 2022–2024 saja sudah mencapai sekitar Rp500 triliun,” kata Alif.

Alif menekankan pentingnya efisiensi dan kemandirian energi. Menurutnya, BBM murah dapat menurunkan ongkos transportasi, mengurangi biaya logistik, meningkatkan konsumsi masyarakat, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Indonesia sebenarnya memiliki cadangan energi yang besar, yakni sekitar 3,7 miliar barel minyak dan 847 miliar BTU LNG. Namun, tantangan terletak pada pengelolaan dan investasi infrastruktur energi dalam negeri.

“Kalau Pertamina bisa berbenah dan memanfaatkan potensi energi yang ada, seharusnya Indonesia tidak perlu terus bergantung pada impor,” pungkas Alif.

==================

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama