Jakarta, NyaringIndonesia – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perusahaan pinjaman daring (pinjol) atau pinjaman dalam jaringan (pindar) memperketat persyaratan penyaluran kredit. Langkah ini menyusul kekhawatiran meningkatnya risiko gagal bayar (galbay), baik karena kondisi ekonomi maupun niat buruk dari sebagian peminjam.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Mulai 31 Juli 2025, seluruh penyelenggara pindar diwajibkan melaporkan data ke Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2024. Integrasi ini diharapkan meningkatkan transparansi dan mitigasi risiko kredit di sektor fintech lending.
“OJK mengimbau masyarakat bijak dalam memanfaatkan fasilitas pendanaan dari penyelenggara pindar, serta tidak sengaja menghindari kewajiban pembayaran,” kata Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, Selasa (7/10/2025).
Menurut OJK, gagal bayar tidak hanya disebabkan kondisi ekonomi yang memburuk, tetapi juga oleh niat sebagian peminjam yang sejak awal tidak berniat melunasi utang.
Meningkatnya adopsi teknologi di sektor keuangan memudahkan masyarakat mengakses pembiayaan tanpa agunan. Namun, kemudahan ini juga membuka celah bagi meningkatnya risiko kredit macet, terutama di tengah gejolak ekonomi.
Kasus gagal bayar pinjol kian marak, dipicu oleh berbagai faktor seperti keterbatasan penghasilan, manajemen keuangan yang buruk, hingga minimnya pemahaman terhadap konsekuensi hukum dan finansial.
Ketua ICT Watch, Indriyatno Banyumurti, menegaskan bahwa risiko galbay sangat serius. Mulai dari denda yang terus menumpuk, tekanan psikologis, hingga potensi jeratan hukum.
“Kalau memang diniatkan untuk tidak membayar, itu ada risiko hukum. Konten-konten galbay di media sosial memang cepat viral karena sifatnya negatif, tapi perlu ada edukasi untuk mengimbangi,” ujarnya dalam podcast FintechVerse 360kredi, Kamis (19/6/2025).
Selain aspek hukum, galbay juga berdampak langsung pada skor kredit SLIK. Riwayat buruk ini akan menyulitkan akses pembiayaan di masa depan, termasuk untuk pembelian kendaraan, rumah, atau bahkan pengajuan kartu kredit.
“Jangan anggap enteng. Menghindari kewajiban pembayaran ke fintech lending bukan berarti hidup bisa tenang,” lanjut Indriyatno.
Senada, Direktur Komersial IdScore, Wahyu Trenggono, mengingatkan pentingnya menjaga reputasi kredit. “Credit scoring itu bukan hanya soal pinjaman. Nilainya bisa memengaruhi karier, bahkan urusan personal seperti mencari pasangan,” kata Wahyu dalam AFPI Journalist Workshop di Bandung.
Hingga Juni 2025, total outstanding pinjaman dari sektor pinjol tercatat sebesar Rp83,52 triliun, tumbuh 25,06% secara tahunan. Meski tumbuh signifikan, laju ini mulai melambat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, industri multifinance hanya mencatat pertumbuhan 1,96% dengan nilai outstanding sebesar Rp501,83 triliun, jauh lebih rendah dibanding pertumbuhan dua digit pada periode sebelumnya.
Sementara itu, rasio kredit macet di sektor pinjol atau TWP90 (tingkat wanprestasi lebih dari 90 hari) menunjukkan tren perbaikan, seiring dengan upaya regulator dan pelaku industri dalam meningkatkan kualitas penyaluran kredit.
OJK dan para pelaku industri kembali menekankan pentingnya tanggung jawab dalam mengakses layanan keuangan digital. Sebelum mengajukan pinjaman, masyarakat diimbau untuk mempertimbangkan kemampuan membayar dan memahami seluruh syarat dan risikonya.(NI1)
==================
Disclaimer:
Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.
Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News