Rencana Pemerintah Perpanjang Tenor Utang Proyek KCJB Jadi Sorotan

Rencana Pemerintah Perpanjang Tenor Utang Proyek KCJB Jadi Sorotan

Jakarta, NyaringIndonesia.com – Rencana pemerintah untuk memperpanjang tenor utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) hingga 60 tahun kini menjadi sorotan banyak pihak. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk meringankan beban keuangan negara dan memastikan kelangsungan operasional proyek yang sejak awal telah menuai kontroversi.

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!

Namun, keputusan tersebut menimbulkan pertanyaan besar: apakah restrukturisasi utang ini benar-benar solusi, atau justru hanya menunda masalah yang lebih kompleks di masa depan?

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai perpanjangan tenor utang belum menyentuh inti permasalahan. Menurut Bhima, memperpanjang jangka waktu pembayaran utang memang bisa meringankan beban tahunan, tetapi justru memperbesar tanggungan jangka panjang.

“Kalau hanya memperpanjang tenor utang, masalahnya tidak akan selesai. Beban jangka panjangnya malah bisa semakin berat,” ujar Bhima, dilansir dari Kontan.co.id, Rabu (22/10/2025).

Bhima juga menekankan bahwa risiko fiskal dan tekanan terhadap keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya PT Kereta Api Indonesia (KAI), tetap tinggi dalam beberapa tahun mendatang.

“Menambah masa tenor utang memang membuat pembayaran tahunan tampak lebih ringan, namun jangka panjangnya akan semakin membebani,” jelas Bhima.

Untuk menyelamatkan proyek kereta cepat, Bhima menyarankan langkah-langkah yang lebih strategis, salah satunya adalah debt swap pertukaran utang dengan pihak konsorsium asal China. Dia mengusulkan agar mekanisme ini dapat melibatkan pengembangan kawasan Transit-Oriented Development (TOD) di sekitar stasiun-stasiun Whoosh.

“Misalnya, porsi joint venture untuk pembangunan properti seperti hotel, tempat wisata, atau perkantoran di sekitar stasiun bisa diperbesar untuk pihak China,” terangnya.

Selain itu, Bhima juga mengusulkan debt cancellation atau penghapusan sebagian utang sebagai opsi ideal. Dengan banyaknya perusahaan China yang berinvestasi di Indonesia dan mendapatkan insentif fiskal, Bhima berpendapat Indonesia memiliki daya tawar yang cukup kuat untuk menegosiasikan pengurangan utang tersebut.

“Lebih dari 90 persen smelter nikel di Indonesia berasal dari China, dan mereka sudah menikmati berbagai kemudahan investasi. Ini bisa menjadi ruang untuk diplomasi dan negosiasi,” ujarnya.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang berpendapat bahwa restrukturisasi utang hingga 60 tahun pun tidak akan cukup untuk menutupi beban yang ada.

“Melihat kondisi saat ini dan tren ke depan, meskipun diperpanjang hingga 100 tahun pun tidak akan mampu untuk melunasi. Ini hanya menunda masalah,” ujar Wijayanto.

Wijayanto menambahkan bahwa meski begitu, dukungan dari pemerintah dan APBN masih diperlukan untuk menutupi kekurangan yang ada.

Sementara itu, pemerintah tetap optimis bahwa restrukturisasi utang adalah langkah yang rasional. Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa perpanjangan tenor utang hingga 60 tahun sudah dibahas dengan Kementerian Keuangan.

“Dengan restrukturisasi 60 tahun, beban pembayaran akan menjadi lebih kecil. Misalnya, kita hanya perlu membayar sekitar Rp 2 triliun per tahun, sementara penerimaan dari operasional proyek dapat mencapai Rp 1,5 triliun,” ujar Luhut dalam acara 1 Tahun Prabowo–Gibran, Senin (20/10/2025).

Luhut juga mengungkapkan bahwa kesepakatan dengan pihak China sebenarnya sudah tercapai, namun pelaksanaannya tertunda karena pergantian pemerintahan.

 

==================

Disclaimer:

Artikel ini bertujuan untuk memperkaya informasi pembaca. Nyaringindonesia.com mengumpulkan informasi ini dari berbagai sumber relevan dan tidak terpengaruh oleh pihak luar.

Jangan lupa untuk terus mengikuti kami untuk mendapatkan informasi terkini berita Nyaring Indonesia lainnya di Google News

Berita Utama